Perbesar Kualitas, Perbanyak Kuantitas !
Kebijakan umum
kaderisasi di era jahriyah-jamahiriyah ini adalah penumbuhan jumlah dan
peningkatan kualitas kader. Ini membuat agenda tarbiyah menjadi lebih besar dan
berat. Namun bukan berarti tidak mungkin.
Selama ikhtiar
da’awi kita selaras dengan sunnah syar’iyyah dan sunnah kauniyah, hal-hal yang
berat dalam pandangan sebagian manusia menjadi ringan karena pertolongan Allah
SWT. Kualitas tentu saja harus mendahului kuantitas. Numu nau’iyah nuqaddam
‘ala numu kammiyah. Ketika kualitas kader baik, maka mudah untuk memompa
kuantitas.
Harakah
Nukhbawiyah
Perlu dipahami
kembali bahwa da’wah kita adalah harakah nukhbawiyah. Artinya da’wah yang
menempatkan kader sebagai aset utama gerakan dan sebagai ujung tombak terdepan
seluruh aktifitas da’wah.
Ketika da’wah
harus mampu menjangkau dan menggerakkan seluruh unsur masyarakat, maka
pembesaran jumlah kader sebagai anashir da’wah menjadi mutlak
diperlukan. Dan ketika misi da’wah juga harus mampu menghasilkan
perubahan-perubahan besar di berbagai aspek kehidupan, maka peningkatan
kualitas kader menjadi suatu keniscayaan.
Perpaduan
antara aspek kuantitas dan kualitas inilah yang digambarkan Allah SWT dalam
ayat: “Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah
besar dari pengikutnya yang bertaqwa (rabbaniyyin). Mereka tidak menjadi lemah
karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak
pula menyerah kepada musuh. Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (QS.
Ali Imran: 146).
Urgensi
Kualitas dan Akibat Mengabaikannya
Kualitas kader
dalam kehidupan da’wah harus senantiasa mengikuti kebutuhan marhaliyah dan
mihwar da’wah. Semakin meningkat marhalah dan semakin meluas mihwar da’wah,
maka kualitas kader pun dituntut untuk semakin berkembang. Bila yang terjadi
sebaliknya, maka akan muncul bencana bagi da’wah. Apa bentuk bencana itu?
Pertama, akan
muncul kader-kader yang tidak mampu istiqamah di dalam mengikuti irama
perjalanan da’wah yang dinamis. Ia akan tersibukkan oleh problem-problem personal dan terjauhkan
dari aktifitas da’wah. Ingatlah, ayat yang membuat rambut nabi Muhammad SAW
beruban adalah: “Maka istiqamahlah kamu (pada jalan yang benar), sebagaimana
diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan
janganlak kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan.” (QS. 11:112). Kesabaran untuk menggapai janji-janji Allah adalah
kunci rahasianya. “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang
menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya. Dan
janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan
kehidupan dunia ini. Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami
lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah
keadaannya itu melewati batas.” (QS. 18:28).
Kedua,
munculnya sebagian kader yang menginginkan kehidupan da’wah sebagai sesuatu
yang ringan dan menyenangkan secara duniawi. Mereka menjadi enggan ketika perjalanan
da’wah ini begitu panjang dan membutuhkan pengorbanan yang banyak. Mereka
cenderung menjadi orang yang ingin “hidup dari da’wah” dan bukan “menghidupi
da’wah”. Perhatikan peringatan Allah SWT: “Kalau yang kamu serukan kepada
mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak seberapa
jauh, pastilah mereka mengikutimu. Tetapi tempat yang dituju itu amat jauh
terasa oleh mereka. Mereka bersumpah dengan (nama) Allah: “Jikalau kami
sanggup, tetulah kami berangkat bersamamu”. Mereka membinasakan diri mereka
sendiri dan Allah mengetahui bahwa mereka sesungguhnya benar-benar orang yang
berdusta.” (QS. 9:42).
Ketiga,
munculnya ketidakmampuan di dalam menjalankan misi da’wah ditengah-tengah
masyarakat.
Ini karena daya dukung dan daya topang yang dimiliki kader semacam ini, tidak
seimbang dengan kebutuhan dan tuntutan da’wah yang semakin terbuka. Allah SWT
mengarahkan Rasulullah SAW untuk menyiapkan diri sedemikian rupa agar mampu
mengemban misi da’wah yang besar dan berat. “Hai orang yang berselimut.
Bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Tuhanmu agungkanlah. Dan pakaianmu
bersihkanlah. Dan perbuatan dosa tinggalkanlah. Dan janganlah kamu memberi
(dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah)
Tuhanmu, bersabarlah.” (QS. 74: 1-7).
Keempat, akibat
dari ketiga hal ini, da’wah menjadi disibukkan oleh problematika internal yang
menguras energi da’wah, sehingga tidak mampu menjalankan misi-misi perubahan
secara efektif. Padahal misi utama da’wah adalah melakukan perubahan dan
perbaikan secara nyata. “… Dan aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan)
perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku
melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan
hanya kepada-Nya lah aku kembali.” (QS. 11:88).
Kelima, akibat
ketidakmampuan ini, timbul kesenjangan antara harapan besar masyarakat dengan
apa yang bisa diberikan oleh da’wah. Lalu terjadi krisis kredibilitas dan krisis legitimasi. Krisis
ini bisa jadi akan diperamai oleh sejumlah kasus-kasus negatif yang muncul ke
permukaan. Perhatikan peringatan Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman,
mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di
sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (QS.
61:2-3).
Terakhir, pada
saat semacam itulah, akan muncul pikiran di sebagian kader yang lemah, untuk
menarik kembali da’wah ke belakang. Mereka merasa lebih nyaman ketika da’wah
ini belum berhadapan langsung dengan masyarakat secara terbuka. Cukuplah
pelajaran dari kisah perang Uhud berikut ini: “Orang-orang yang ditinggalkan
(tidak ikut berperang) itu, merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang
Rasulullah, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada
jalan Allah. Dan mereka berkata: “Janganlah kamu berangkat (pergi berperang)
dalam panas terik ini”. Katakanlah: “Api neraka Jahannam itu lebih sangat
panas”, jikalau mereka mengetahui.” (QS. 9:81). Inilah bencana yang bisa
terjadi pada da’wah manakala aspek kualitas diabaikan.
Perluasan
Da’wah Berdampak Penurunan Kualitas?
Ketika tuntutan
da’wah mengarahkan kerja kita pada perluasan wilayah da’wah dengan peningkatan
rekrutmen kader, muncul penilaian di sementara kalangan bahwa kualitas
kader-kader baru semakin menurun. Benarkah ini? Bagaimana kita memandang
persoalannya?
Bila dilihat
secara permukaan, sangat mungkin penilaian itu benar. Tetapi dengan cara
pandang yang utuh, kita bisa menguji kembali keabsahan penilaian itu. Ada
hal-hal prinsip yang harus dipahami.
Pertama,
perluasan da’wah berarti memperluas wilayah interaksi da’wah ke berbagai unsur
dan segmen masyarakat yang sangat beragam. Keberagaman sosio-demografis, tentu saja
berpengaruh kepada keberagaman standar kualitas penerimaan da’wah. Dalam sunnah
da’wah, as-sabiqunal awwalun selalu memiliki standar kualitas lebih tinggi dari
generasi berikutnya.
Sampai kemudian
terjadi upaya tajdid (pembaharuan) atas kualitas generasi berikutnya. “Mereka
itulah orang yang didekatkan (kepada Allah). Berada dalam surga keni’matan.
Segolongan besar dari orang-orang terdahulu, dan segolongan kecil dari
orang-orang kemudian.” (QS. 56:11-14).
Generasi awal
da’wah ini direkrut dari unsur pemuda terdidik yang memiliki kesiapan optimal
untuk menjadi anashir da’wah yang muntij (produktif). “Sesungguhnya
mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami
tambahkan kepada mereka petunjuk. Dan Kami telah meneguhkan hati mereka di
waktu mereka berdiri, lalu mereka berkata: “Tuhan kami adalah Tuhan langit dan
bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia, sesungguhnya kami kalau
demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran.” (QS.
18:13-14).
Sekarang ini,
perluasan da’wah menghasilkan rekrutmen dari beragam segmen (misalnya: kaum
pekerja, ibu rumah-tangga, buruh, dan lain sebagainya) dengan keberagaman
tingkat penerimaan Islam dan keberagaman tingkat interaksi da’wahnya. Sehingga
sangat mungkin di antara mereka ada orang-orang seperti digambarkan dalam ayat:
“Orang-orang Arab Badwi itu berkata: “Kami telah beriman”. Katakanlah: “Kamu
belum beriman, tetapi katakanlah “Kami telah tunduk”. Karena iman itu belum
masuk ke dalam hatimu. Dan jika kamu ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia
tidak akan mengurangi sedikitpun (pahala) amalanmu. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. 49:14).
Kedua,
perluasan wilayah da’wah juga menuntut pengembangan pada uslub (metode),
wasilah (sarana) dan ijro’at (mekanisme) rekrutmen dan pembinaan. Pada generasi
awal da’wah, ada kebutuhan percepatan proses pembinaan ke arah takwin. Sehingga
dalam waktu relatif singkat, terbangun komitmen Islam dan komitmen da’wah yang
kuat. Lalu semakin dimatangkan dengan interaksi da’wah secara langsung. “Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah
orang-orang yang beruntung.” (QS. 3:104).
Ketika terjadi
perluasan da’wah, proses pengkondisian dan seleksi da’wah berjalan lebih
panjang. Ini penting, untuk mengukur tingkat kesiapan penerimaan da’wah
sehingga kita tidak memberikan beban melampaui kadar kemampuan obyek da’wah.
Metode, sarana dan mekanisme rekrutmen serta pembinaan pun dikembangkan
sedemikian rupa, sehingga bisa menjangkau dan menampung obyek da’wah secara
lebih masal. “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya. Dan berjihadlah pada jalan-Nya,
supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. 5:35).
Bila kita amati
perkembangan da’wah ‘ammah dalam 5 sampai 10 tahun terakhir, ada banyak ijtihad
dalam pola rekrutmen dan pembinaan da’wah. Ini hal yang baik dan dimungkinkan,
karena ada dalam wilayah mutaghayyirat (hal-hal yang dinamis).
Ketiga, da’wah
Islam sesungguhnya membutuhkan sangat banyak anashir dengan beragam kondisi dan
kemampuannya. Di
antara mereka ada yang dijadikan qaidah siyasiyah (basis kepemimpinan), qaidah
fikriyah (basis pemikiran), qaidah harakiyah (basis gerak) dan juga
qaidah ijtima’iyah (basis sosial). Bahkan dalam sunnah da’wah, qaidah
ijtima’iyah harus jauh lebih besar dari basis-basis da’wah lainnya.
Perbedaan setiap qaidah tentu saja mengarah kepada perbedaan standar kualitas
yang dimiliki. Sehingga yang dibutuhkan dalam melihat keberagaman standar
kualitas adalah pada siasat untuk menempatkan dan mendayagunakan anashir
tersebut dalam bangunan amal jama’i da’wah. Perhatikan firman Allah SWT:
“Katakanlah:
Hai kaumku, bekerjalah kamu sesuai dengan keadaanmu. Sesungguhnya aku akan
bekerja (pula), maka kelak kamu akan mengetahui…” (QS. 39:39).
Terakhir, tentu
saja Allah SWT telah meletakkan miqyar ‘aam (standar umum) dalam menilai
keimanan dan keshalehan seseorang. Parameternya disebutkan dalam banyak
ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga bingkai besar kita dalam menilai dan menimbang
kualitas kader adalah pada timbangan Islam itu sendiri. Tidak lebih dan tidak
kurang. Firman Allah SWT: “Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia
meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca
itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kami mengurangi
neraca itu.” (QS. 55:7-9). Jadi selama aspek-aspek kualitas kader da’wah
tidak keluar dari bingkai umum ajaran Islam, maka mereka adalah kader yang
berkualitas.
Mensikapi
“Kesalahan” Kader
Dari keempat
prinsip ini, kita akan mampu melihat masalah ini secara lebih utuh dan
obyektif. Akan tetapi, barangkali ada yang menyoroti menurunnya kualitas dari
sisi terjadinya kasus-kasus pelanggaraan syari’at dalam beberapa aspek
kehidupan. Baik dalam urusan mu’amalah ataupun da’wah. Bagaimana ini?
Bila ini
terjadi, memang hal yang memprihatinkan. Karena sejatinya kader-kader da’wah
menjadi orang-orang terdepan dalam melakukan kebajikan dan juga terdepan dalam
meninggalkan kemunkaran. Tetapi manusia adalah tempatnya kesalahan. Dan Allah
SWT menyediakan sifat
Pema’af,
Pengampun dan Penerima Taubat kepada manusia-manusia beriman yang melakukan
kesalahan. Artinya kesempurnaan ajaran Islam muncul ketika Islam menerima
kesalahan perbuatan manusia sebagai keniscayaan, dan memberikan jalan bagi
perbaikannya. Ini tinjauan dari sisi manusia sebagai individu.
Tinjauan lain
adalah proses tasyri’. Sebagian dari syari’at Islam diturunkan Allah SWT karena
kasus-kasus kesalahan yang dilakukan nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya.
Penetapan hukum ini berkaitan dengan urusan rumah-tangga, jual-beli,
makan-minum, ibadah, da’wah dan juga jihad. Artinya, ketika terjadi
kesalahan-kesalahan dalam komunitas da’wah, maka hal itu mesti diperlakukan
dalam perspektif tasyri’.
Di sinilah
kemudian pola hubungan qiyadah-jundiyah diberlakukan dalam konteks penerapan
syari’at Islam. Perhatikan firman Allah SWT: “Dan Kami tidak mengutus
seorang rasul, melainkan untuk dita’ati dengan izin Allah. Sesungguhnya jikalau
mereka ketika menganiaya dirinya, datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada
Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati
Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. Maka demi Tuhanmu, mereka (pada
hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara
yang mereka perselisihkan. Kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati
mereka terhadap putusan yang kamu berikan. Dan mereka menerima dengan
sepenuhnya.” (QS. 4:64-65).
Dalam kaitan
ini, maka da’wah dan jajaran qiyadahnya di semua lini harus mampu mengelola
masalah-masalah semacam ini untuk pengokohan tahqiq as-syari’ah dalam kehidupan
berjama’ah. Juga untuk mematangkan kualitas kader ketika mereka belajar banyak
dari kesalahan-kesalahan yang terjadi. Marilah kita mengambil ibrah dari kisah
Haditsul-Ifki yang menggegerkan itu. “Sesungguhnya orang-orang yang membawa
berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa
berita bohong iyu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap
orang dari mereka mendapatkan balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa
di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita
bohong itu, baginya azab yang besar.” (QS. 24:11).
Pada sisi lain,
ketika ada sementara orang yang sulit diperbaiki dari kesalahan-kesalahannya,
sangat mungkin ia merupakan cara Allah untuk membersihkan shaf da’wah. “Allah
sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu
sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik
(mu’min). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal
yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya diantara
rasul-rasulNya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasulNya.Dan jika
kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar.” (QS. 3:179).
Jalan
Memperbaiki Kesalahan
Dengan memahami
pandangan yang lebih utuh tentang kualitas kader dan kasus-kasus kesalahan yang
terjadi, diharapkan kita bisa melihat persoalan dalam perspektif obyektif,
positif dan ke depan. Namun begitu, bukan berarti kita mengabaikan
persoalan-persoalan penurunan kualitas yang sementara ini terjadi.
Manajemen
da’wah yang baik, tentu saja harus mampu melakukan tiga hal sekaligus dalam
menghadapi permasalah ini. Yaitu tindakan antisipatif agar masalah masalah
tidak meluas atau terulang kembali. Lalu tindakan responsif, yaitu menanggapi
secara cepat berbagai gejala permasalahan sehingga bisa teratasi dengan cepat
dan tuntas. Lainnya adalah tindakan kuratif, yaitu menyelesaikan dan
memperbaiki kasus-kasus permasalahan yang ada di kalangan kader.
Terkait dengan
tindakan kuratif (‘ilaj), dalam da’wah ini tersedia tiga pendekatan.
Pertama adalah ‘ilaj ukhawi. Yaitu menyelesaikan permasalahan melalui
pendekatan ukhuwah. Setiap kader memiliki hak untuk menerima taushiyah dan
sekaligus berkewajiban melakukan taushiyah. Bahkan dalam budaya da’wah, ketika
seseorang melihat kesalahan saudaranya secara langsung, ia akan segera
menegurnya dengan cara yang baik, dan bukan mengadukannya kepada orang lain.
Inilah hakikat taushiyah bil-haq, bis-shabr dan taushiyah bil-marhamah.
Ketika teguran
sudah diberikan, kita harus menunggu beberapa waktu untuk melihat apakah
saudara kita itu mau memperbaiki kesalahannya. Manakala teguran kita tidak
berhasil, baru kita bisa menceritakan dan meminta bantuan orang lain untuk
memperbaikinya. Tentu saja orang itu adalah pihak yang memiliki otoritas,
kemampuan atau kedekatan terhadap kader yang bermasalah. Menceritakan kasus
atau aib saudara kita kepada orang lain yang tidak dalam kualifikasi ini, sudah
termasuk perkara ghibah.
Hal lain yang
penting, ketika kita menemukan seorang kader yang melakukan kesalahan atau
memiliki aib, salah satu tugas kita adalah menutupi aib itu dari orang lain.
Dan kita harus tetap memandang saudara kita itu dari sisi-sisi kebaikannya,
agar kita tetap mampu bergaul dan beramal jama’i. Dalam suasana seperti ini,
kita akan terus berupaya mengarahkan dan mengingatkan saudara kita itu, agar
tidak melakukan kesalahan yang sama. Ini adalah bentuk lain taushiyah melalui
bimbingan atau arahan amal.
Kedua adalah ‘ilaj
tarbawi. Yaitu mengatasi permasalahan yang dialami kader melalui taujihat
tarbawiyah dalam forum-forum pembinaan. Fadzakkir, inna dzikro tanfa’ul
mu’minin. Sangat mungkin, seseorang melakukan kesalahan akibat
ketidakpahamannya (‘adamul-fahm) akan suatu persoalan. Dengan diberikan
ilmu tentang hal itu, masalah yang ada akan bisa diselesaikan. Untuk itulah,
seorang murabbi dan muwajjih harus peka dan mampu mengidentifikasi
persoalan-persoalan yang berkembang di kalangan kader. Sehingga taujihat
tarbawiyah yang diberikan secara rutin, bisa diarahkan secara lebih spesifik.
Perhatikanlah, taujihat Rasulullah kepada para sahabat dalam forum-forum
pembinaan, biasanya sangat spesifik dan sering berangkat dari kasus-kasus
tertentu yang terjadi di lapangan amal.
Ketiga adalah ‘ilaj
tanzhimi. Harakah kita adalah munazhzhamah. Ada ijro’at tanzhimi
(mekanisme dan aturan organisasi) yang mengikat kita. Ketika suatu kesalahan
yang dilakukan kader tidak mampu diatasi dengan ‘ilaj ukhawi dan ‘ilaj
tarbawi, maka dengan otoritasnya, da’wah bisa melakukan ‘ilaj tanzhimi.
Jajaran qiyadah di berbagai jenjang struktur harus mampu menggunakan
otoritasnya. Pada titik ini, seorang kader akan dihadapkan pada pilihan-pilihan
komitmen da’wah-harakahnya. Karena keta’atan pada jama’ah dan qiyadah adalah
salah satu kewajiban asasi dalam amal jama’i. “Wahai orang-orang yang
beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.”
(QS.4:59).
Ketika ‘ilaj
tanzhimi dilakukan, maka di antara otoritas da’wah dan qiyadah adalah
menetapkan uqubah (sanksi). Hakihat uqubah adalah sebagai bukti adanya
kesalahan yang telah dilakukan, sebagai konsekuensi yang harus dibayar dari
kesalahan itu dan sebagai jalan untuk mengingatkan serta mengembalikan orang
yang bersalah kepada jalan kebenaran. Oleh karena itu, uqubah menjadi sangat
penting agar kewibawaan da’wah dan kewibawaan Islam tetap terpelihara. Tentu
saja, ini harus dilakukan oleh pihak yang benar-benar berwenang, dengan aturan
yang jelas dan syura yang mendalam.
Tiga
Agenda Tarbiyah
“Banyak dalam
Kuantitas, Baik dalam kualitas”. Ungkapan ini adalah keinginan semua orang
dalam da’wah ini. Ini bukan khayalan yang musykil. Allah SWT memberikan isyarat
kemungkinannya pada QS. 3:146-148, yang artinya: “Dan berapa banyak para
nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikutnya yang
bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di
jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai
orang-orang yang sabar. Tidak ada do’a mereka selain ucapan: “Ya Tuhan kami,
ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam
urusan kami, dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum
yang kafir. Karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia dan
pahala di akherat. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.”
Ada tiga
kandungan penting dari ayat ini. Pertama, kenyataan bahwa para nabi membutuhkan
pengikut dalam jumlah besar sebagai barisan mujahid fi sabilillah.
Kedua, mereka itu (rabbaniyyin) memiliki kualitas yang handal dalam
medan perjuangan. ‘Adamu al-wahn (tidak mudah lemah) dalam menghadapi
ujian dunia, ‘Adamu adh-dha’fu (tidak mudah lesu) dalam menghadapi
kesulitan perjuangan dan ‘Adamu al-Istikanah (tidak gampang menyerah)
kepada musuh-musuh Allah. Ketiga, mereka adalah orang-orang yang menyadari
kelemahan dan kesalahan dirinya. Mensikapinya dengan senantiasa memohon ampun
dan bertaubat dari kesalahan dan kekeliruan, serta menggantungkan diri semata
kepada Allah SWT dalam menghadapi musuh.
Tiga kandungan
inilah yang menggambarkan agenda tarbiyah sekarang ini. Yaitu upaya sistematis
untuk merekrut dan mencetak kader sebanyak-banyaknya. Kedua, mentarbiyah mereka
secara manhaji agar memiliki kualitas yang handal. Ketiga, membangun sistem dan
iklim da’wah yang baik. Yaitu yang mampu menghidupkan semangat quwwatu
ash-shilah bil-lah, semangat muraqabatullah wa muhasabatun-nafs, semangat
ta’awun wa tanashur serta iklim ihsanul-‘amal.
Agenda 1:
Memperbanyak Rekrutmen Kader
Merekrut kader
da’wah adalah upaya untuk memberi jalan kepada manusia untuk mendapatkan
hidayah dan pilihan Allah SWT. Hasil akhirnya bergantung kepada kesediaan
manusia untuk datang kepada Allah dan pada kehendak mutlak Allah sendiri. “… Allah
menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada
(agama) Nya, orang yang kembali (kepada-Nya).” (QS. 42:13).
Oleh karena
itu, misi da’wah untuk merekrut manusia ke dalam Islam dan da’wah, hanya
mungkin dilakukan oleh orang-orang yang secara sadar mengkhidmatkan dirinya
kepada Islam. Karena seorang da’i tidak mampu memberi hidayah, ia hanya
menuntun manusia kepada hidayah itu. “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat
memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk
kepada orang yang dikehendaki-Nya. Dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang
mau menerima petunjuk.” (QS. 28:56).
Misi da’wah
untuk merekrut manusia ke dalam Islam dan da’wah hanya mampu dilakukan oleh
mereka yang menjadikan da’wah sebagai pekerjaan utama dan terbaiknya, dengan
ganjaran semata-mata dari Allah SWT. “Siapakah yang lebih baik perkataannya
daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal shaleh dan berkata:
“Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (QS. 41:33). “Dan
aku sekali-kali tidak meminta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu. Upahku
tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.” (QS. 26:109).
Dengan ittijah
semacam inilah, setiap kader akan memiliki kesiapan untuk berda’wah.
Keberhasilan merekrut manusia kemudian akan ditentukan oleh kesungguhan dan
totalitasnya dalam mengajak manusia. Hari-harinya adalah waktu da’wah.
Perhatikan ungkapan nabi Nuh as: “Nuh berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku
telah menyeru kaumku malam dan siang.” (QS. 71:5). Ayat ini menggambarkan,
dalam setiap kesempatan kapanpun, dalam setiap keberadaan di manapun, dalam
situasi dan kondisi apapun, nabi Nuh menjadikan da’wah sebagai misi besar dan
utamanya.
Keberhasilan
dalam mencetak kader da’wah baru juga akan ditentukan oleh sikap mengembangkan
generasi, bukan mengerdilkannya. Perhatikan peringatan Allah SWT: “Tidak wajar
bagi seorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah dan
kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi
penyembah-penyembahku, bukan penyembah Allah.” Akan tetapi (dia berkata):
“Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan
Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS. 3:79).
Nabi Zakaria
as, dalam usia yang sangat senja, masih memiliki kemauan kuat untuk bisa
mengembangkan generasi da’wah. “Ia (Zakaria) berkata: “Ya Tuhanku,
sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku sudah beruban. Dan aku belum
pernah kecewa dalam berdo’a kepada Engkau, ya Tuhanku. Dan sesungguhnya aku
khawatir terhadap penerus sepeninggalku, sedang istriku adalah seorang yang
mandul. Maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera. Yang akan
mewarisi aku dan mewarisi sebagian keluarga Ya’qub. Dan jadikanlah ia, Ya
Tuhanku, seorang yang diridhai.” (QS. 19:4-6).
Prinsip dan
sikap semacam inilah yang dibutuhkan pada setiap kader da’wah, sehingga mampu
menggerakkan kekuatan rekrutmen da’wah secara optimal. Da’wah tidak dipandang
sebagai beban, karena ia adalah jalan kehidupan kita. Sabilil-Mu’minim.
Agenda 2:
Meningkatkan Kualitas Kader
Tidak ada
keberhasilan terbaik dalam mencetak kader berkualitas kecuali apa yang
dilakukan Muhammad Rasulullah SAW. Dengan izin Allah, beliau mampu mencetak
pedagang menjadi pejuang, algojo menjadi pemimpin yang zuhud, pemuda menjadi
ulama, dan budak menjadi birokrat. Apa kunci keberhasilan tarbiyah Islamiyah
yang dilakukan Rasulullah SAW?
Mengokohkan
Bangunan Keyakinan
Rasulullah SAW
mengawali pembentukan kepribadian kader dengan menanamkan bangunan keyakinan
baru secara kokoh. Keimanan akan ke-Maha Kuasa-an Allah, keyakinan akan
kebenaran Islam, pemahaman yang kokoh akan jalan da’wah Islam dan kerinduan
yang sangat besar terhadap syurga. Keyakinan semacam inilah yang membentuk
orientasi dan wawasan hidup para sahabat. Di sinilah lahir apa yang disebut
militansi Islam dan militansi da’wah.
Ketika bangunan
keyakinan ini kuat dan terpelihara, maka militansi para sahabat tetap membara.
Sampai-sampai Khalid bin Walid begitu sedih karena harus menemui kematiannya di
atas tempat tidur. Sebagai murabbi, Rasulullah SAW senantiasa mengingatkan murid-muridnya
akan keyakinan dan orientasi ini. Khususnya ketika para sahabat mengalami ujian
dan cobaan sulit dalam kehidupannya. Sekali lagi, rahasia pertama adalah:
keimanan yang besar terhadap Allah SWT, keyakinan yang kuat akan kebenaran
Islam, pemahaman yang kokoh tentang jalan da’wah dan kerinduan yang dalam
terhadap syurga.
Yang diperlukan
sekarang, bagaimana program-program tarbiyah di berbagai jenjang dan dalam
berbagai forum, dihiasi dengan upaya untuk menyegarkan dan mengokohkan bangunan
keyakinan ini. Munakh ruhi-ta’abbudi sangat mutlak untuk dihidupkan dalam
berbagai liqa’at. Mengkaji sejarah kehidupan para anbiya, para salafus-shalih
dan para mujahid da’wah akan sangat berpengaruh terhadap kekokohan militansi.
Diskusi dan pendalaman akan manhaj da’wah dan doktrin-doktrinnya, perlu secara
rutin dilakukan pada bagian awal liqa’at tarbawi atau tanzhimi. Juga
membiasakan untuk mengevaluasi hasil-hasil pekerjaan, bukan saja dari
sudut-pandang manajerial, tetapi juga ibrah dan hikmah rabbaniyah yang
terkandung di dalamnya.
Mendekatkan
Interaksi dengan Al-Qur’an
Kunci kedua
adalah kuatnya interaksi langsung antara ayat-ayat Allah dengan dinamika
kehidupan. Sebagaimana kita pahami bersama, dinamika kehidupan Rasulullah
bersama sahabat-sahabatnya berjalanan beriringan dengan turunnya ayat-ayat
Al-Qur’an. Sehingga, bukan saja kehidupan itu berjalan di bawah bimbingan atau
taujih Rabbani, tetapi juga ditandai interaksi yang langsung dan kuat dengan
Al-Qur’an sebagai minhajul-hayah. Inilah yang menjadi alasan Sayyid Qutb
menyebut mereka sebagai Jiil-Qur’ani atau generasi Qur’an.
Dalam konteks
kekinian, interaksi dengan Al-Qur’an bukan sebatas aspek tilawah, hafalan dan
pemahaman. Tetapi lebih penting pada sisi pengamalan Islam dan da’wah yang
terus mengacu kepada bimbingan Al-Qur’an. Sepatutnyalah, setiap kader mampu
menjelaskan seluruh aktifitas hariannya dengan acuan Al-Qur’an dan berusaha
menemukan jawaban atas persoalan-persoalan hariannya dalam Al-Qur’an.
Ada indikasi
sederhana pada generasi awal da’wah ini. Mereka memiliki kedekatan dengan
Al-Qur’an terjemahan. Melalui terjemahan ini, kader-kader da’wah awal
senantiasa mentadabburi ayat-ayat Allah untuk memahami dan menjelaskan
kehidupannya. Sekarang ada fenomena dimana Al-Qur’an terjemahan tidak lagi
populer dan tidak menjadi pegangan dalam berbagai liqa’at tarbawiyah.
Mudah-mudahan saja, ia karena sudah banyak kader-kader da’wah yang menguasai
bahasa Arab dan bahasa Al-Qur’an.
Untuk menjawab
tantangan kualitas, maka harus segera dilakukan upaya mendekatkan interaksi
kader dengan Al-Qur’an. Dalam enam bulan pertama mengawali proses tarbiyah,
setiap mutarabbi dirancang sudah mampu menguasai bacaan Al-Qur’an dengan baik.
Enam bulan berikutnya, mereka diprogram untuk menghapal ayat-ayat keimanan,
khususnya pada juz 30. Masa-masa selanjutnya, program hapalan Al-Qur’an
disesuaikan dengan tema-tema pembahasan tarbiyah, sehingga pemahaman ke-Islaman
dan fikrah da’wah diikuti dengan hapalan ayat-ayat yang berkaitan.
Kegiatan kultum
atau taushiyah dalam liqa’ tarbawi bisa dipolakan dengan kilasan tafsir dari
ayat-ayat tilawah yang sedang dibaca. Tentu saja, kilasan tafsir ini diarahkan
untuk mengacu kepada kitab-kitab tafsir (yang sudah banyak diterjemahkan).
Begitupun, pembahasan berbagai qadhaya da’wah diupayakan mengacu kepada
tinjauan Qur’ani. Sehingga pemahaman dan penguasan kader terhadap ma’na dan
ibrah dari ayat-ayat Al-Qur’an menjadi kuat.
Membimbing
kepada Penerapan Amal
Islam adalah
dinul-‘amal. Dalam arti bahwa Islam mengedepankan kebaikan amal sebagai bukti
dari keimanan dan pemahaman. Selanjutnya, penerapan amal justru akan
mempercepat dan memperkokoh bangunan keimanan dan pemahaman terhadap Islam.
Tentu saja semua ini dilakukan dengan menjaga agar setiap amal yang dilakukan
senantiasa dilandasi oleh al-ikhlas dan al-fahmu.
Inilah yang
dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam mentarbiyah umatnya. Mereka menjadi qaumun
‘amaliyyun atau orang yang senantiasa beramal. “Dan katakanlah: “Beramallah
kamu, maka Allah dan Rasul-Nya beserta orang-orang mu’min akan melihat amalmu
itu. Dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib
dan yang nyata. Lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”
(QS. 9:105).
Ketika arahan
amal begitu kuat dalam Islam, hal ini mendorong para sahabat untuk senantiasa
berkomunikasi dan berkonsultasi kepada Rasulullah SAW dalam kapasitas sebagai
nabi, qaid dan juga qadhi. Dari sinilah pemahaman mereka bertambah sejalan
dengan banyaknya amal. Kebaikan mereka berlipat sejalan dengan kesalahan yang
diperbaiki. Keyakinan mereka menguat sejalan dengan kemenangan amal yang mereka
raih. Dan akhirnya, keyakinan Islam mereka semakin kokoh karena Rasul
senantiasa menjanjikan balasan syurga kepada mereka yang sukses beramal shalih.
Tarbiyah bukan
untuk tarbiyah. Tapi tarbiyah untuk da’wah. Kita adalah harakah da’wah, bukan
harakah tarbiyah. Oleh karena itu, peningkatan kualitas kader harus mengacu
kepada prinsip ini. Yaitu bagaimana para mutarabbi sejak awal tarbiyahnya,
diarahkan dan dibimbing untuk mulai
mengamalkan
Islam dan da’wahnya. Murabbi yang sukses adalah yang mampu menjadikan
mutarabbinya sebagai subyek da’wah, dan bukan obyek da’wah. Ingatlah firman
Allah SWT: “Tidak wajar bagi seorang manusia yang Allah berikan kepadanya
Al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu
menjadi penyembah-penyembahku, bukan penyembah Allah.” Akan tetapi (dia
berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu
mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS. 3:79).
Akhirnya kita
menemukan satu kata kunci. Tajribah maydaniyah (pengalaman lapangan) adalah
cara efektif untuk mematangkan keyakinan, pemaham dan kemampuan amal seorang
kader. Ilmu Allah yang sangat luas akan diajarkan kepada kita, ketika kita ada
di lapangan – untuk mengamalkan ajaran Islam – dengan sepenuh tawakal. “… Dan
bertakwalah kepada Allah, niscaya Allah akan mengajarkanmu. Dan Allah Maha
Mengatahui segala sesuatu.” (QS. 2:282)
Mengedepankan
Keteladanan dan Kepemimpinan yang Baik
Perilaku dan
amal para da’i adalah cerminan dari da’wahnya. Mereka adalah teladan dalam
pembicaraan dan amalan. Slogan mereka adalah “ashlih nafsaka, wad’u ghairaka”
(perbaiki dirimu, kemudian serulah orang lain).
Rasulullah SAW
telah menampilkan keteladanan ini dalam dirinya. Sungguh, beliau adalah teladan
yang sempurna bagi manusia. Ia adalah teladn bagi setiap da’i, setiap pemimpin,
setiap bapak dari anak-anaknya, setiap suami dari istrinya, setiap sahabat, setiap
murabbi, setiap praktisi politik, dan berbagai posisi sosial manusia yang lain.
Dengan cara
inilah, Rasulullah sukses dalam mengkader sahabat-sahabatnya. Islam menampilkan
keteladanan sebagai sarana da’wah dan tarbiyah yang paling efektif. Sehingga
Islam menetapkan sistem tarbiyah yang kontinyu atas dasar prinsip keteladanan
tersebut. Sesungguhnya, kebaikan amal seorang da’i adalah khutbah yang paling
mantap. Akhlaknya yang mulia adalah “sihir” yang memikat hati. Karena itulah,
seorang da’i yang sukses adalah da’i yang mengajak kepada kebenaran dengan
perilakunya, meskipun dia sedikit bicara. Karena pribadinya telah menjadi
contoh yang hidup dan bergerak. Memperagakan prinsip-prinsip yang diyakininya.
Munculnya
gejala penurunan kualitas kader sekarang ini sangat mungkin disebabkan karena
lemahnya keteladanan yang ditampilkan para du’at dan para pemimpin. Mereka
tidak bisa belajar secara langsung tentang kebaikan dari da’i dan pemimpinnya.
Atau bahkan mereka dikacaukan dengan perilaku kontradiktif dari da’i dan
pemimpinnya.
Untuk itu,
apapun upaya peningkatan kualitas kader yang kita lakukan, pada akhirnya harus
disempurnakan dengan keteladanan dan kepemimpinan yang baik dari para murabbi
dan da’i. Kita tidak berhak menggugat kader yang lemah kualitasnya, selama kita
sendiri belum mampu mengajarkan dan menunjukkan mereka tentang keteladanan.
Agenda 3:
Mengembangkan Iklim Taushiyah
Ketika kita
bekerja untuk menyiapkan kader berkualitas dalam jumlah banyak, langkah penting
selanjutnya adalah melakukan ri’ayah nukhbawiyah (pemeliharaan kader). Ri’ayah
ini mencakup aspek syakhsiyah Islamiyah dan syakhsiyah da’iyah
mereka, sehingga kehidupan da’wah ini terus sehat dan kuat.
Tentu saja
banyak cara yang bisa dilakukan untuk ini, salah satunya adalah mengembangkan
iklim atau budaya taushiyah. Masyarakat mu’min diantara cirinya adalah kuatnya
budaya taushiyah dan amar ma’ruf nahi munkar. Mereka memandang hal ini sebagai
kebutuhan untuk menjaga kebaikan Islam. Juga sebagai hak-kewajiban seorang
mu’min atas mu’min lainnya. Dan lebih penting, ini merupakan salah satu misi
da’wah Islam.
Dalam
sejarahnya, kehancuran umat terdahulu karena mereka tidak mengembangkan iklim
taushiyah dan amar ma’ruf nahi munkar. Bisa jadi hal ini bukan karena kebodohan
mereka terhadap ajaran agama, tetapi karena kungkungan budaya tertentu.
Misalnya sikap pakewuh bila menegur orang lain, terutama yang status atau
derajat sosialnya dianggap lebih tinggi. Atau rasa tidak enak hati akan
menyinggung perasaan orang lain. Sikap-sikap ini akan menggiring untuk
membiarkan kesalahan yang terjadi pada saudara kita. Kalau hal ini terus
berlangsung, maka sensitifitas kita terhadap kemunkaran yang terjadi dalam
kehidupan da’wah bisa lenyap. Inilah pintu malapetaka yang nyata bagi da’wah.
Ada banyak
jalan untuk mengembangkan iklim ini. Yang paling mendasar adalah menghidupkan
kembali suasana ukhuwah Islamiyah di kalangan kader. Manakala interaksi ukhowi
hidup dengan baik, sesama kader saling menjalin silaturahim dan berbagai bentuk
mu’amalah lainnya, ini akan membuat seorang akh mengenal betul keadaan
saudaranya yang lain. Semakin kenal kita dengan saudara yang lain, semakin tahu
akan kebaikan atau kekurangannya. Di sinilah peluang amal shalih untuk
melakukan taushiyah terbuka. Tabi’atnya, seseorang merasa lebih nyaman dan
lapang, manakala yang memberi taushiyah adalah orang yang dekat dengannya.
Kemudian, peran
taushiyah yang dilakukan setiap murabbi. Yaitu bagaimana seorang murabbi
menjadikan liqa’ tarbawi sebagai sarana efektif untuk mentaushiyah para
mutarabbinya. Nasehat-nasehat yang diberikan sesuai dengan dinamika dan
persoalan kehidupan mereka. Sehingga para mutarabbi senantiasa terbimbing untuk
istiqamah di jalan Islam. Untuk itu, interaksi antara murabbi dan mutarabbi
tidak bisa sebatas di dalam liqa’at semata. Interaksi yang lebih personal di
luar waktu liqa’at menjadi penting, agar kedua belah pihak lebih saling
mengenal. Ingatlah dien itu adalah nasehat.
Terakhir adalah
peran jajaran qiyadah di semua jenjang. Ketika memimpin rapat, mereka adalah
qaid yang memiliki otoritas untuk mengontrol dan mengarahkan perilaku
bawahannya. Taushiyah seorang pemimpin yang disampaikan secara bijak dan penuh
ungkapan kasih-sayang, bukan saja akan meluruskan orientasi dan proses kerja.
Tetapi juga akan menguatkan soliditas organisasi. Karena orang-orang di
dalamnya tidak semata merasa terikat secara administratif, tapi juga dengan
ikatan hati. Sehingga menjadi sangat penting dan mendesak, jajaran pemimpin
da’wah – khususnya yang ada di basis operasional – untuk mengokohkan peran
kepemimpinan spiritualnya. Dan jangan terjebak sebatas kepemimpinan
administratif, yang fungsi dan peran kepemimpinannya hanya muncul saat liqa’at tanzhimiyah
saja.
Dalam konteks
kepemimpinan organisasi, perlu disediakan saluran agar antara pemimpin dan
anggota-anggota organisasinya di setiap jenjang bisa bertemu dan membicarakan
hal-hal penting secara bersama-sama. Di sini, disampaikan perkembangan dan
permasalahan da’wah yang perlu diketahui para anggota. Dan jajaran pemimpin
menghimpun masukan sebanyak-banyaknya dari para anggota. Setiap anggota berhak
untuk menyampaikan kritikan, uneg-uneg dan sejenisnya secara terbuka dan
konstruktif dalam forum ini. Format acara ini bisa berbentuk temu kader tingkat
ranting, tingkat cabang, dan seterusnya.
Apabila iklim
taushiyah dan amar ma’ruf nahi munkar hidup dengan baik di semua lini, Insya
Allah kehidupan da’wah ini akan selalu sehat dan kuat. Karena setiap potensi
dan gejala penyakit bisa diantisipasi dengan cepat secara spontan. Menumpuknya
masalah yang mengganggu tanzhim da’wah biasanya akibat tidak hidupnya iklim
ini, sehingga semua persoalan harus ditanggung oleh tanzhim. Perhatikan firman
Allah SWT: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian
mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh yang ma’ruf,
mencegah dari yang munkar. Mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan mereka
ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maja Bijaksana.” (QS. 9:71).
No comments:
Post a Comment