Wednesday, December 31, 2025

Agenda Tarbiyah di Era Jahriyah Jamahiriyah

Perbesar Kualitas, Perbanyak Kuantitas !

Kebijakan umum kaderisasi di era jahriyah-jamahiriyah ini adalah penumbuhan jumlah dan peningkatan kualitas kader. Ini membuat agenda tarbiyah menjadi lebih besar dan berat. Namun bukan berarti tidak mungkin.

Selama ikhtiar da’awi kita selaras dengan sunnah syar’iyyah dan sunnah kauniyah, hal-hal yang berat dalam pandangan sebagian manusia menjadi ringan karena pertolongan Allah SWT. Kualitas tentu saja harus mendahului kuantitas. Numu nau’iyah nuqaddam ‘ala numu kammiyah. Ketika kualitas kader baik, maka mudah untuk memompa kuantitas.

Harakah Nukhbawiyah

Perlu dipahami kembali bahwa da’wah kita adalah harakah nukhbawiyah. Artinya da’wah yang menempatkan kader sebagai aset utama gerakan dan sebagai ujung tombak terdepan seluruh aktifitas da’wah.

Ketika da’wah harus mampu menjangkau dan menggerakkan seluruh unsur masyarakat, maka pembesaran jumlah kader sebagai anashir da’wah menjadi mutlak diperlukan. Dan ketika misi da’wah juga harus mampu menghasilkan perubahan-perubahan besar di berbagai aspek kehidupan, maka peningkatan kualitas kader menjadi suatu keniscayaan.

Perpaduan antara aspek kuantitas dan kualitas inilah yang digambarkan Allah SWT dalam ayat: “Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikutnya yang bertaqwa (rabbaniyyin). Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak pula menyerah kepada musuh. Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (QS. Ali Imran: 146).

Urgensi Kualitas dan Akibat Mengabaikannya

Kualitas kader dalam kehidupan da’wah harus senantiasa mengikuti kebutuhan marhaliyah dan mihwar da’wah. Semakin meningkat marhalah dan semakin meluas mihwar da’wah, maka kualitas kader pun dituntut untuk semakin berkembang. Bila yang terjadi sebaliknya, maka akan muncul bencana bagi da’wah. Apa bentuk bencana itu?

Pertama, akan muncul kader-kader yang tidak mampu istiqamah di dalam mengikuti irama perjalanan da’wah yang dinamis. Ia akan tersibukkan oleh problem-problem personal dan terjauhkan dari aktifitas da’wah. Ingatlah, ayat yang membuat rambut nabi Muhammad SAW beruban adalah: “Maka istiqamahlah kamu (pada jalan yang benar), sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlak kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. 11:112). Kesabaran untuk menggapai janji-janji Allah adalah kunci rahasianya. “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya. Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini. Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS. 18:28).

Kedua, munculnya sebagian kader yang menginginkan kehidupan da’wah sebagai sesuatu yang ringan dan menyenangkan secara duniawi. Mereka menjadi enggan ketika perjalanan da’wah ini begitu panjang dan membutuhkan pengorbanan yang banyak. Mereka cenderung menjadi orang yang ingin “hidup dari da’wah” dan bukan “menghidupi da’wah”. Perhatikan peringatan Allah SWT: “Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak seberapa jauh, pastilah mereka mengikutimu. Tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka. Mereka bersumpah dengan (nama) Allah: “Jikalau kami sanggup, tetulah kami berangkat bersamamu”. Mereka membinasakan diri mereka sendiri dan Allah mengetahui bahwa mereka sesungguhnya benar-benar orang yang berdusta.” (QS. 9:42).

Ketiga, munculnya ketidakmampuan di dalam menjalankan misi da’wah ditengah-tengah masyarakat. Ini karena daya dukung dan daya topang yang dimiliki kader semacam ini, tidak seimbang dengan kebutuhan dan tuntutan da’wah yang semakin terbuka. Allah SWT mengarahkan Rasulullah SAW untuk menyiapkan diri sedemikian rupa agar mampu mengemban misi da’wah yang besar dan berat. “Hai orang yang berselimut. Bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Tuhanmu agungkanlah. Dan pakaianmu bersihkanlah. Dan perbuatan dosa tinggalkanlah. Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.” (QS. 74: 1-7).

Keempat, akibat dari ketiga hal ini, da’wah menjadi disibukkan oleh problematika internal yang menguras energi da’wah, sehingga tidak mampu menjalankan misi-misi perubahan secara efektif. Padahal misi utama da’wah adalah melakukan perubahan dan perbaikan secara nyata. “… Dan aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepada-Nya lah aku kembali.” (QS. 11:88).

Kelima, akibat ketidakmampuan ini, timbul kesenjangan antara harapan besar masyarakat dengan apa yang bisa diberikan oleh da’wah. Lalu terjadi krisis kredibilitas dan krisis legitimasi. Krisis ini bisa jadi akan diperamai oleh sejumlah kasus-kasus negatif yang muncul ke permukaan. Perhatikan peringatan Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (QS. 61:2-3).

Terakhir, pada saat semacam itulah, akan muncul pikiran di sebagian kader yang lemah, untuk menarik kembali da’wah ke belakang. Mereka merasa lebih nyaman ketika da’wah ini belum berhadapan langsung dengan masyarakat secara terbuka. Cukuplah pelajaran dari kisah perang Uhud berikut ini: “Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang) itu, merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Dan mereka berkata: “Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini”. Katakanlah: “Api neraka Jahannam itu lebih sangat panas”, jikalau mereka mengetahui.” (QS. 9:81). Inilah bencana yang bisa terjadi pada da’wah manakala aspek kualitas diabaikan.

Perluasan Da’wah Berdampak Penurunan Kualitas?

Ketika tuntutan da’wah mengarahkan kerja kita pada perluasan wilayah da’wah dengan peningkatan rekrutmen kader, muncul penilaian di sementara kalangan bahwa kualitas kader-kader baru semakin menurun. Benarkah ini? Bagaimana kita memandang persoalannya?

Bila dilihat secara permukaan, sangat mungkin penilaian itu benar. Tetapi dengan cara pandang yang utuh, kita bisa menguji kembali keabsahan penilaian itu. Ada hal-hal prinsip yang harus dipahami.

Pertama, perluasan da’wah berarti memperluas wilayah interaksi da’wah ke berbagai unsur dan segmen masyarakat yang sangat beragam. Keberagaman sosio-demografis, tentu saja berpengaruh kepada keberagaman standar kualitas penerimaan da’wah. Dalam sunnah da’wah, as-sabiqunal awwalun selalu memiliki standar kualitas lebih tinggi dari generasi berikutnya.

Sampai kemudian terjadi upaya tajdid (pembaharuan) atas kualitas generasi berikutnya. “Mereka itulah orang yang didekatkan (kepada Allah). Berada dalam surga keni’matan. Segolongan besar dari orang-orang terdahulu, dan segolongan kecil dari orang-orang kemudian.” (QS. 56:11-14).

Generasi awal da’wah ini direkrut dari unsur pemuda terdidik yang memiliki kesiapan optimal untuk menjadi anashir da’wah yang muntij (produktif). “Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk. Dan Kami telah meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri, lalu mereka berkata: “Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran.” (QS. 18:13-14).

Sekarang ini, perluasan da’wah menghasilkan rekrutmen dari beragam segmen (misalnya: kaum pekerja, ibu rumah-tangga, buruh, dan lain sebagainya) dengan keberagaman tingkat penerimaan Islam dan keberagaman tingkat interaksi da’wahnya. Sehingga sangat mungkin di antara mereka ada orang-orang seperti digambarkan dalam ayat: “Orang-orang Arab Badwi itu berkata: “Kami telah beriman”. Katakanlah: “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah “Kami telah tunduk”. Karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu. Dan jika kamu ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun (pahala) amalanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. 49:14).

Kedua, perluasan wilayah da’wah juga menuntut pengembangan pada uslub (metode), wasilah (sarana) dan ijro’at (mekanisme) rekrutmen dan pembinaan. Pada generasi awal da’wah, ada kebutuhan percepatan proses pembinaan ke arah takwin. Sehingga dalam waktu relatif singkat, terbangun komitmen Islam dan komitmen da’wah yang kuat. Lalu semakin dimatangkan dengan interaksi da’wah secara langsung. “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. 3:104).

Ketika terjadi perluasan da’wah, proses pengkondisian dan seleksi da’wah berjalan lebih panjang. Ini penting, untuk mengukur tingkat kesiapan penerimaan da’wah sehingga kita tidak memberikan beban melampaui kadar kemampuan obyek da’wah. Metode, sarana dan mekanisme rekrutmen serta pembinaan pun dikembangkan sedemikian rupa, sehingga bisa menjangkau dan menampung obyek da’wah secara lebih masal. “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya. Dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. 5:35).

Bila kita amati perkembangan da’wah ‘ammah dalam 5 sampai 10 tahun terakhir, ada banyak ijtihad dalam pola rekrutmen dan pembinaan da’wah. Ini hal yang baik dan dimungkinkan, karena ada dalam wilayah mutaghayyirat (hal-hal yang dinamis).

Ketiga, da’wah Islam sesungguhnya membutuhkan sangat banyak anashir dengan beragam kondisi dan kemampuannya. Di antara mereka ada yang dijadikan qaidah siyasiyah (basis kepemimpinan), qaidah fikriyah (basis pemikiran), qaidah harakiyah (basis gerak) dan juga qaidah ijtima’iyah (basis sosial). Bahkan dalam sunnah da’wah, qaidah ijtima’iyah harus jauh lebih besar dari basis-basis da’wah lainnya. Perbedaan setiap qaidah tentu saja mengarah kepada perbedaan standar kualitas yang dimiliki. Sehingga yang dibutuhkan dalam melihat keberagaman standar kualitas adalah pada siasat untuk menempatkan dan mendayagunakan anashir tersebut dalam bangunan amal jama’i da’wah. Perhatikan firman Allah SWT:

Katakanlah: Hai kaumku, bekerjalah kamu sesuai dengan keadaanmu. Sesungguhnya aku akan bekerja (pula), maka kelak kamu akan mengetahui…” (QS. 39:39).

Terakhir, tentu saja Allah SWT telah meletakkan miqyar ‘aam (standar umum) dalam menilai keimanan dan keshalehan seseorang. Parameternya disebutkan dalam banyak ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga bingkai besar kita dalam menilai dan menimbang kualitas kader adalah pada timbangan Islam itu sendiri. Tidak lebih dan tidak kurang. Firman Allah SWT: “Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kami mengurangi neraca itu.” (QS. 55:7-9). Jadi selama aspek-aspek kualitas kader da’wah tidak keluar dari bingkai umum ajaran Islam, maka mereka adalah kader yang berkualitas.

Mensikapi “Kesalahan” Kader

Dari keempat prinsip ini, kita akan mampu melihat masalah ini secara lebih utuh dan obyektif. Akan tetapi, barangkali ada yang menyoroti menurunnya kualitas dari sisi terjadinya kasus-kasus pelanggaraan syari’at dalam beberapa aspek kehidupan. Baik dalam urusan mu’amalah ataupun da’wah. Bagaimana ini?

Bila ini terjadi, memang hal yang memprihatinkan. Karena sejatinya kader-kader da’wah menjadi orang-orang terdepan dalam melakukan kebajikan dan juga terdepan dalam meninggalkan kemunkaran. Tetapi manusia adalah tempatnya kesalahan. Dan Allah SWT menyediakan sifat

Pema’af, Pengampun dan Penerima Taubat kepada manusia-manusia beriman yang melakukan kesalahan. Artinya kesempurnaan ajaran Islam muncul ketika Islam menerima kesalahan perbuatan manusia sebagai keniscayaan, dan memberikan jalan bagi perbaikannya. Ini tinjauan dari sisi manusia sebagai individu.

Tinjauan lain adalah proses tasyri’. Sebagian dari syari’at Islam diturunkan Allah SWT karena kasus-kasus kesalahan yang dilakukan nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Penetapan hukum ini berkaitan dengan urusan rumah-tangga, jual-beli, makan-minum, ibadah, da’wah dan juga jihad. Artinya, ketika terjadi kesalahan-kesalahan dalam komunitas da’wah, maka hal itu mesti diperlakukan dalam perspektif tasyri’.

Di sinilah kemudian pola hubungan qiyadah-jundiyah diberlakukan dalam konteks penerapan syari’at Islam. Perhatikan firman Allah SWT: “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul, melainkan untuk dita’ati dengan izin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya, datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan. Kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan. Dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. 4:64-65).

Dalam kaitan ini, maka da’wah dan jajaran qiyadahnya di semua lini harus mampu mengelola masalah-masalah semacam ini untuk pengokohan tahqiq as-syari’ah dalam kehidupan berjama’ah. Juga untuk mematangkan kualitas kader ketika mereka belajar banyak dari kesalahan-kesalahan yang terjadi. Marilah kita mengambil ibrah dari kisah Haditsul-Ifki yang menggegerkan itu. “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong iyu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap orang dari mereka mendapatkan balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, baginya azab yang besar.” (QS. 24:11).

Pada sisi lain, ketika ada sementara orang yang sulit diperbaiki dari kesalahan-kesalahannya, sangat mungkin ia merupakan cara Allah untuk membersihkan shaf da’wah. “Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mu’min). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya diantara rasul-rasulNya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasulNya.Dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar.” (QS. 3:179).

Jalan Memperbaiki Kesalahan

Dengan memahami pandangan yang lebih utuh tentang kualitas kader dan kasus-kasus kesalahan yang terjadi, diharapkan kita bisa melihat persoalan dalam perspektif obyektif, positif dan ke depan. Namun begitu, bukan berarti kita mengabaikan persoalan-persoalan penurunan kualitas yang sementara ini terjadi.

Manajemen da’wah yang baik, tentu saja harus mampu melakukan tiga hal sekaligus dalam menghadapi permasalah ini. Yaitu tindakan antisipatif agar masalah masalah tidak meluas atau terulang kembali. Lalu tindakan responsif, yaitu menanggapi secara cepat berbagai gejala permasalahan sehingga bisa teratasi dengan cepat dan tuntas. Lainnya adalah tindakan kuratif, yaitu menyelesaikan dan memperbaiki kasus-kasus permasalahan yang ada di kalangan kader.

Terkait dengan tindakan kuratif (‘ilaj), dalam da’wah ini tersedia tiga pendekatan. Pertama adalah ‘ilaj ukhawi. Yaitu menyelesaikan permasalahan melalui pendekatan ukhuwah. Setiap kader memiliki hak untuk menerima taushiyah dan sekaligus berkewajiban melakukan taushiyah. Bahkan dalam budaya da’wah, ketika seseorang melihat kesalahan saudaranya secara langsung, ia akan segera menegurnya dengan cara yang baik, dan bukan mengadukannya kepada orang lain. Inilah hakikat taushiyah bil-haq, bis-shabr dan taushiyah bil-marhamah.

Ketika teguran sudah diberikan, kita harus menunggu beberapa waktu untuk melihat apakah saudara kita itu mau memperbaiki kesalahannya. Manakala teguran kita tidak berhasil, baru kita bisa menceritakan dan meminta bantuan orang lain untuk memperbaikinya. Tentu saja orang itu adalah pihak yang memiliki otoritas, kemampuan atau kedekatan terhadap kader yang bermasalah. Menceritakan kasus atau aib saudara kita kepada orang lain yang tidak dalam kualifikasi ini, sudah termasuk perkara ghibah.

Hal lain yang penting, ketika kita menemukan seorang kader yang melakukan kesalahan atau memiliki aib, salah satu tugas kita adalah menutupi aib itu dari orang lain. Dan kita harus tetap memandang saudara kita itu dari sisi-sisi kebaikannya, agar kita tetap mampu bergaul dan beramal jama’i. Dalam suasana seperti ini, kita akan terus berupaya mengarahkan dan mengingatkan saudara kita itu, agar tidak melakukan kesalahan yang sama. Ini adalah bentuk lain taushiyah melalui bimbingan atau arahan amal.

Kedua adalah ‘ilaj tarbawi. Yaitu mengatasi permasalahan yang dialami kader melalui taujihat tarbawiyah dalam forum-forum pembinaan. Fadzakkir, inna dzikro tanfa’ul mu’minin. Sangat mungkin, seseorang melakukan kesalahan akibat ketidakpahamannya (‘adamul-fahm) akan suatu persoalan. Dengan diberikan ilmu tentang hal itu, masalah yang ada akan bisa diselesaikan. Untuk itulah, seorang murabbi dan muwajjih harus peka dan mampu mengidentifikasi persoalan-persoalan yang berkembang di kalangan kader. Sehingga taujihat tarbawiyah yang diberikan secara rutin, bisa diarahkan secara lebih spesifik. Perhatikanlah, taujihat Rasulullah kepada para sahabat dalam forum-forum pembinaan, biasanya sangat spesifik dan sering berangkat dari kasus-kasus tertentu yang terjadi di lapangan amal.

Ketiga adalah ‘ilaj tanzhimi. Harakah kita adalah munazhzhamah. Ada ijro’at tanzhimi (mekanisme dan aturan organisasi) yang mengikat kita. Ketika suatu kesalahan yang dilakukan kader tidak mampu diatasi dengan ‘ilaj ukhawi dan ‘ilaj tarbawi, maka dengan otoritasnya, da’wah bisa melakukan ‘ilaj tanzhimi. Jajaran qiyadah di berbagai jenjang struktur harus mampu menggunakan otoritasnya. Pada titik ini, seorang kader akan dihadapkan pada pilihan-pilihan komitmen da’wah-harakahnya. Karena keta’atan pada jama’ah dan qiyadah adalah salah satu kewajiban asasi dalam amal jama’i. “Wahai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.” (QS.4:59).

Ketika ‘ilaj tanzhimi dilakukan, maka di antara otoritas da’wah dan qiyadah adalah menetapkan uqubah (sanksi). Hakihat uqubah adalah sebagai bukti adanya kesalahan yang telah dilakukan, sebagai konsekuensi yang harus dibayar dari kesalahan itu dan sebagai jalan untuk mengingatkan serta mengembalikan orang yang bersalah kepada jalan kebenaran. Oleh karena itu, uqubah menjadi sangat penting agar kewibawaan da’wah dan kewibawaan Islam tetap terpelihara. Tentu saja, ini harus dilakukan oleh pihak yang benar-benar berwenang, dengan aturan yang jelas dan syura yang mendalam.

Tiga Agenda Tarbiyah

“Banyak dalam Kuantitas, Baik dalam kualitas”. Ungkapan ini adalah keinginan semua orang dalam da’wah ini. Ini bukan khayalan yang musykil. Allah SWT memberikan isyarat kemungkinannya pada QS. 3:146-148, yang artinya: “Dan berapa banyak para nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikutnya yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. Tidak ada do’a mereka selain ucapan: “Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami, dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir. Karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia dan pahala di akherat. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.”

Ada tiga kandungan penting dari ayat ini. Pertama, kenyataan bahwa para nabi membutuhkan pengikut dalam jumlah besar sebagai barisan mujahid fi sabilillah. Kedua, mereka itu (rabbaniyyin) memiliki kualitas yang handal dalam medan perjuangan. ‘Adamu al-wahn (tidak mudah lemah) dalam menghadapi ujian dunia, ‘Adamu adh-dha’fu (tidak mudah lesu) dalam menghadapi kesulitan perjuangan dan ‘Adamu al-Istikanah (tidak gampang menyerah) kepada musuh-musuh Allah. Ketiga, mereka adalah orang-orang yang menyadari kelemahan dan kesalahan dirinya. Mensikapinya dengan senantiasa memohon ampun dan bertaubat dari kesalahan dan kekeliruan, serta menggantungkan diri semata kepada Allah SWT dalam menghadapi musuh.

Tiga kandungan inilah yang menggambarkan agenda tarbiyah sekarang ini. Yaitu upaya sistematis untuk merekrut dan mencetak kader sebanyak-banyaknya. Kedua, mentarbiyah mereka secara manhaji agar memiliki kualitas yang handal. Ketiga, membangun sistem dan iklim da’wah yang baik. Yaitu yang mampu menghidupkan semangat quwwatu ash-shilah bil-lah, semangat muraqabatullah wa muhasabatun-nafs, semangat ta’awun wa tanashur serta iklim ihsanul-‘amal.

Agenda 1: Memperbanyak Rekrutmen Kader

Merekrut kader da’wah adalah upaya untuk memberi jalan kepada manusia untuk mendapatkan hidayah dan pilihan Allah SWT. Hasil akhirnya bergantung kepada kesediaan manusia untuk datang kepada Allah dan pada kehendak mutlak Allah sendiri. “… Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama) Nya, orang yang kembali (kepada-Nya).” (QS. 42:13).

Oleh karena itu, misi da’wah untuk merekrut manusia ke dalam Islam dan da’wah, hanya mungkin dilakukan oleh orang-orang yang secara sadar mengkhidmatkan dirinya kepada Islam. Karena seorang da’i tidak mampu memberi hidayah, ia hanya menuntun manusia kepada hidayah itu. “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya. Dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS. 28:56).

Misi da’wah untuk merekrut manusia ke dalam Islam dan da’wah hanya mampu dilakukan oleh mereka yang menjadikan da’wah sebagai pekerjaan utama dan terbaiknya, dengan ganjaran semata-mata dari Allah SWT. “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal shaleh dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (QS. 41:33). “Dan aku sekali-kali tidak meminta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu. Upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.” (QS. 26:109).

Dengan ittijah semacam inilah, setiap kader akan memiliki kesiapan untuk berda’wah. Keberhasilan merekrut manusia kemudian akan ditentukan oleh kesungguhan dan totalitasnya dalam mengajak manusia. Hari-harinya adalah waktu da’wah. Perhatikan ungkapan nabi Nuh as: “Nuh berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang.” (QS. 71:5). Ayat ini menggambarkan, dalam setiap kesempatan kapanpun, dalam setiap keberadaan di manapun, dalam situasi dan kondisi apapun, nabi Nuh menjadikan da’wah sebagai misi besar dan utamanya.

Keberhasilan dalam mencetak kader da’wah baru juga akan ditentukan oleh sikap mengembangkan generasi, bukan mengerdilkannya. Perhatikan peringatan Allah SWT: “Tidak wajar bagi seorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku, bukan penyembah Allah.” Akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS. 3:79).

Nabi Zakaria as, dalam usia yang sangat senja, masih memiliki kemauan kuat untuk bisa mengembangkan generasi da’wah. “Ia (Zakaria) berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku sudah beruban. Dan aku belum pernah kecewa dalam berdo’a kepada Engkau, ya Tuhanku. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap penerus sepeninggalku, sedang istriku adalah seorang yang mandul. Maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera. Yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebagian keluarga Ya’qub. Dan jadikanlah ia, Ya Tuhanku, seorang yang diridhai.” (QS. 19:4-6).

Prinsip dan sikap semacam inilah yang dibutuhkan pada setiap kader da’wah, sehingga mampu menggerakkan kekuatan rekrutmen da’wah secara optimal. Da’wah tidak dipandang sebagai beban, karena ia adalah jalan kehidupan kita. Sabilil-Mu’minim.

Agenda 2: Meningkatkan Kualitas Kader

Tidak ada keberhasilan terbaik dalam mencetak kader berkualitas kecuali apa yang dilakukan Muhammad Rasulullah SAW. Dengan izin Allah, beliau mampu mencetak pedagang menjadi pejuang, algojo menjadi pemimpin yang zuhud, pemuda menjadi ulama, dan budak menjadi birokrat. Apa kunci keberhasilan tarbiyah Islamiyah yang dilakukan Rasulullah SAW?

Mengokohkan Bangunan Keyakinan

Rasulullah SAW mengawali pembentukan kepribadian kader dengan menanamkan bangunan keyakinan baru secara kokoh. Keimanan akan ke-Maha Kuasa-an Allah, keyakinan akan kebenaran Islam, pemahaman yang kokoh akan jalan da’wah Islam dan kerinduan yang sangat besar terhadap syurga. Keyakinan semacam inilah yang membentuk orientasi dan wawasan hidup para sahabat. Di sinilah lahir apa yang disebut militansi Islam dan militansi da’wah.

Ketika bangunan keyakinan ini kuat dan terpelihara, maka militansi para sahabat tetap membara. Sampai-sampai Khalid bin Walid begitu sedih karena harus menemui kematiannya di atas tempat tidur. Sebagai murabbi, Rasulullah SAW senantiasa mengingatkan murid-muridnya akan keyakinan dan orientasi ini. Khususnya ketika para sahabat mengalami ujian dan cobaan sulit dalam kehidupannya. Sekali lagi, rahasia pertama adalah: keimanan yang besar terhadap Allah SWT, keyakinan yang kuat akan kebenaran Islam, pemahaman yang kokoh tentang jalan da’wah dan kerinduan yang dalam terhadap syurga.

Yang diperlukan sekarang, bagaimana program-program tarbiyah di berbagai jenjang dan dalam berbagai forum, dihiasi dengan upaya untuk menyegarkan dan mengokohkan bangunan keyakinan ini. Munakh ruhi-ta’abbudi sangat mutlak untuk dihidupkan dalam berbagai liqa’at. Mengkaji sejarah kehidupan para anbiya, para salafus-shalih dan para mujahid da’wah akan sangat berpengaruh terhadap kekokohan militansi. Diskusi dan pendalaman akan manhaj da’wah dan doktrin-doktrinnya, perlu secara rutin dilakukan pada bagian awal liqa’at tarbawi atau tanzhimi. Juga membiasakan untuk mengevaluasi hasil-hasil pekerjaan, bukan saja dari sudut-pandang manajerial, tetapi juga ibrah dan hikmah rabbaniyah yang terkandung di dalamnya.

Mendekatkan Interaksi dengan Al-Qur’an

Kunci kedua adalah kuatnya interaksi langsung antara ayat-ayat Allah dengan dinamika kehidupan. Sebagaimana kita pahami bersama, dinamika kehidupan Rasulullah bersama sahabat-sahabatnya berjalanan beriringan dengan turunnya ayat-ayat Al-Qur’an. Sehingga, bukan saja kehidupan itu berjalan di bawah bimbingan atau taujih Rabbani, tetapi juga ditandai interaksi yang langsung dan kuat dengan Al-Qur’an sebagai minhajul-hayah. Inilah yang menjadi alasan Sayyid Qutb menyebut mereka sebagai Jiil-Qur’ani atau generasi Qur’an.

Dalam konteks kekinian, interaksi dengan Al-Qur’an bukan sebatas aspek tilawah, hafalan dan pemahaman. Tetapi lebih penting pada sisi pengamalan Islam dan da’wah yang terus mengacu kepada bimbingan Al-Qur’an. Sepatutnyalah, setiap kader mampu menjelaskan seluruh aktifitas hariannya dengan acuan Al-Qur’an dan berusaha menemukan jawaban atas persoalan-persoalan hariannya dalam Al-Qur’an.

Ada indikasi sederhana pada generasi awal da’wah ini. Mereka memiliki kedekatan dengan Al-Qur’an terjemahan. Melalui terjemahan ini, kader-kader da’wah awal senantiasa mentadabburi ayat-ayat Allah untuk memahami dan menjelaskan kehidupannya. Sekarang ada fenomena dimana Al-Qur’an terjemahan tidak lagi populer dan tidak menjadi pegangan dalam berbagai liqa’at tarbawiyah. Mudah-mudahan saja, ia karena sudah banyak kader-kader da’wah yang menguasai bahasa Arab dan bahasa Al-Qur’an.

Untuk menjawab tantangan kualitas, maka harus segera dilakukan upaya mendekatkan interaksi kader dengan Al-Qur’an. Dalam enam bulan pertama mengawali proses tarbiyah, setiap mutarabbi dirancang sudah mampu menguasai bacaan Al-Qur’an dengan baik. Enam bulan berikutnya, mereka diprogram untuk menghapal ayat-ayat keimanan, khususnya pada juz 30. Masa-masa selanjutnya, program hapalan Al-Qur’an disesuaikan dengan tema-tema pembahasan tarbiyah, sehingga pemahaman ke-Islaman dan fikrah da’wah diikuti dengan hapalan ayat-ayat yang berkaitan.

Kegiatan kultum atau taushiyah dalam liqa’ tarbawi bisa dipolakan dengan kilasan tafsir dari ayat-ayat tilawah yang sedang dibaca. Tentu saja, kilasan tafsir ini diarahkan untuk mengacu kepada kitab-kitab tafsir (yang sudah banyak diterjemahkan). Begitupun, pembahasan berbagai qadhaya da’wah diupayakan mengacu kepada tinjauan Qur’ani. Sehingga pemahaman dan penguasan kader terhadap ma’na dan ibrah dari ayat-ayat Al-Qur’an menjadi kuat.

Membimbing kepada Penerapan Amal

Islam adalah dinul-‘amal. Dalam arti bahwa Islam mengedepankan kebaikan amal sebagai bukti dari keimanan dan pemahaman. Selanjutnya, penerapan amal justru akan mempercepat dan memperkokoh bangunan keimanan dan pemahaman terhadap Islam. Tentu saja semua ini dilakukan dengan menjaga agar setiap amal yang dilakukan senantiasa dilandasi oleh al-ikhlas dan al-fahmu.

Inilah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam mentarbiyah umatnya. Mereka menjadi qaumun ‘amaliyyun atau orang yang senantiasa beramal. “Dan katakanlah: “Beramallah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya beserta orang-orang mu’min akan melihat amalmu itu. Dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata. Lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. 9:105).

Ketika arahan amal begitu kuat dalam Islam, hal ini mendorong para sahabat untuk senantiasa berkomunikasi dan berkonsultasi kepada Rasulullah SAW dalam kapasitas sebagai nabi, qaid dan juga qadhi. Dari sinilah pemahaman mereka bertambah sejalan dengan banyaknya amal. Kebaikan mereka berlipat sejalan dengan kesalahan yang diperbaiki. Keyakinan mereka menguat sejalan dengan kemenangan amal yang mereka raih. Dan akhirnya, keyakinan Islam mereka semakin kokoh karena Rasul senantiasa menjanjikan balasan syurga kepada mereka yang sukses beramal shalih.

Tarbiyah bukan untuk tarbiyah. Tapi tarbiyah untuk da’wah. Kita adalah harakah da’wah, bukan harakah tarbiyah. Oleh karena itu, peningkatan kualitas kader harus mengacu kepada prinsip ini. Yaitu bagaimana para mutarabbi sejak awal tarbiyahnya, diarahkan dan dibimbing untuk mulai

mengamalkan Islam dan da’wahnya. Murabbi yang sukses adalah yang mampu menjadikan mutarabbinya sebagai subyek da’wah, dan bukan obyek da’wah. Ingatlah firman Allah SWT: “Tidak wajar bagi seorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku, bukan penyembah Allah.” Akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS. 3:79).

Akhirnya kita menemukan satu kata kunci. Tajribah maydaniyah (pengalaman lapangan) adalah cara efektif untuk mematangkan keyakinan, pemaham dan kemampuan amal seorang kader. Ilmu Allah yang sangat luas akan diajarkan kepada kita, ketika kita ada di lapangan – untuk mengamalkan ajaran Islam – dengan sepenuh tawakal. “… Dan bertakwalah kepada Allah, niscaya Allah akan mengajarkanmu. Dan Allah Maha Mengatahui segala sesuatu.” (QS. 2:282)

Mengedepankan Keteladanan dan Kepemimpinan yang Baik

Perilaku dan amal para da’i adalah cerminan dari da’wahnya. Mereka adalah teladan dalam pembicaraan dan amalan. Slogan mereka adalah “ashlih nafsaka, wad’u ghairaka” (perbaiki dirimu, kemudian serulah orang lain).

Rasulullah SAW telah menampilkan keteladanan ini dalam dirinya. Sungguh, beliau adalah teladan yang sempurna bagi manusia. Ia adalah teladn bagi setiap da’i, setiap pemimpin, setiap bapak dari anak-anaknya, setiap suami dari istrinya, setiap sahabat, setiap murabbi, setiap praktisi politik, dan berbagai posisi sosial manusia yang lain.

Dengan cara inilah, Rasulullah sukses dalam mengkader sahabat-sahabatnya. Islam menampilkan keteladanan sebagai sarana da’wah dan tarbiyah yang paling efektif. Sehingga Islam menetapkan sistem tarbiyah yang kontinyu atas dasar prinsip keteladanan tersebut. Sesungguhnya, kebaikan amal seorang da’i adalah khutbah yang paling mantap. Akhlaknya yang mulia adalah “sihir” yang memikat hati. Karena itulah, seorang da’i yang sukses adalah da’i yang mengajak kepada kebenaran dengan perilakunya, meskipun dia sedikit bicara. Karena pribadinya telah menjadi contoh yang hidup dan bergerak. Memperagakan prinsip-prinsip yang diyakininya.

Munculnya gejala penurunan kualitas kader sekarang ini sangat mungkin disebabkan karena lemahnya keteladanan yang ditampilkan para du’at dan para pemimpin. Mereka tidak bisa belajar secara langsung tentang kebaikan dari da’i dan pemimpinnya. Atau bahkan mereka dikacaukan dengan perilaku kontradiktif dari da’i dan pemimpinnya.

Untuk itu, apapun upaya peningkatan kualitas kader yang kita lakukan, pada akhirnya harus disempurnakan dengan keteladanan dan kepemimpinan yang baik dari para murabbi dan da’i. Kita tidak berhak menggugat kader yang lemah kualitasnya, selama kita sendiri belum mampu mengajarkan dan menunjukkan mereka tentang keteladanan.

Agenda 3: Mengembangkan Iklim Taushiyah

Ketika kita bekerja untuk menyiapkan kader berkualitas dalam jumlah banyak, langkah penting selanjutnya adalah melakukan ri’ayah nukhbawiyah (pemeliharaan kader). Ri’ayah ini mencakup aspek syakhsiyah Islamiyah dan syakhsiyah da’iyah mereka, sehingga kehidupan da’wah ini terus sehat dan kuat.

Tentu saja banyak cara yang bisa dilakukan untuk ini, salah satunya adalah mengembangkan iklim atau budaya taushiyah. Masyarakat mu’min diantara cirinya adalah kuatnya budaya taushiyah dan amar ma’ruf nahi munkar. Mereka memandang hal ini sebagai kebutuhan untuk menjaga kebaikan Islam. Juga sebagai hak-kewajiban seorang mu’min atas mu’min lainnya. Dan lebih penting, ini merupakan salah satu misi da’wah Islam.

Dalam sejarahnya, kehancuran umat terdahulu karena mereka tidak mengembangkan iklim taushiyah dan amar ma’ruf nahi munkar. Bisa jadi hal ini bukan karena kebodohan mereka terhadap ajaran agama, tetapi karena kungkungan budaya tertentu. Misalnya sikap pakewuh bila menegur orang lain, terutama yang status atau derajat sosialnya dianggap lebih tinggi. Atau rasa tidak enak hati akan menyinggung perasaan orang lain. Sikap-sikap ini akan menggiring untuk membiarkan kesalahan yang terjadi pada saudara kita. Kalau hal ini terus berlangsung, maka sensitifitas kita terhadap kemunkaran yang terjadi dalam kehidupan da’wah bisa lenyap. Inilah pintu malapetaka yang nyata bagi da’wah.

Ada banyak jalan untuk mengembangkan iklim ini. Yang paling mendasar adalah menghidupkan kembali suasana ukhuwah Islamiyah di kalangan kader. Manakala interaksi ukhowi hidup dengan baik, sesama kader saling menjalin silaturahim dan berbagai bentuk mu’amalah lainnya, ini akan membuat seorang akh mengenal betul keadaan saudaranya yang lain. Semakin kenal kita dengan saudara yang lain, semakin tahu akan kebaikan atau kekurangannya. Di sinilah peluang amal shalih untuk melakukan taushiyah terbuka. Tabi’atnya, seseorang merasa lebih nyaman dan lapang, manakala yang memberi taushiyah adalah orang yang dekat dengannya.

Kemudian, peran taushiyah yang dilakukan setiap murabbi. Yaitu bagaimana seorang murabbi menjadikan liqa’ tarbawi sebagai sarana efektif untuk mentaushiyah para mutarabbinya. Nasehat-nasehat yang diberikan sesuai dengan dinamika dan persoalan kehidupan mereka. Sehingga para mutarabbi senantiasa terbimbing untuk istiqamah di jalan Islam. Untuk itu, interaksi antara murabbi dan mutarabbi tidak bisa sebatas di dalam liqa’at semata. Interaksi yang lebih personal di luar waktu liqa’at menjadi penting, agar kedua belah pihak lebih saling mengenal. Ingatlah dien itu adalah nasehat.

Terakhir adalah peran jajaran qiyadah di semua jenjang. Ketika memimpin rapat, mereka adalah qaid yang memiliki otoritas untuk mengontrol dan mengarahkan perilaku bawahannya. Taushiyah seorang pemimpin yang disampaikan secara bijak dan penuh ungkapan kasih-sayang, bukan saja akan meluruskan orientasi dan proses kerja. Tetapi juga akan menguatkan soliditas organisasi. Karena orang-orang di dalamnya tidak semata merasa terikat secara administratif, tapi juga dengan ikatan hati. Sehingga menjadi sangat penting dan mendesak, jajaran pemimpin da’wah – khususnya yang ada di basis operasional – untuk mengokohkan peran kepemimpinan spiritualnya. Dan jangan terjebak sebatas kepemimpinan administratif, yang fungsi dan peran kepemimpinannya hanya muncul saat liqa’at tanzhimiyah saja.

Dalam konteks kepemimpinan organisasi, perlu disediakan saluran agar antara pemimpin dan anggota-anggota organisasinya di setiap jenjang bisa bertemu dan membicarakan hal-hal penting secara bersama-sama. Di sini, disampaikan perkembangan dan permasalahan da’wah yang perlu diketahui para anggota. Dan jajaran pemimpin menghimpun masukan sebanyak-banyaknya dari para anggota. Setiap anggota berhak untuk menyampaikan kritikan, uneg-uneg dan sejenisnya secara terbuka dan konstruktif dalam forum ini. Format acara ini bisa berbentuk temu kader tingkat ranting, tingkat cabang, dan seterusnya.

Apabila iklim taushiyah dan amar ma’ruf nahi munkar hidup dengan baik di semua lini, Insya Allah kehidupan da’wah ini akan selalu sehat dan kuat. Karena setiap potensi dan gejala penyakit bisa diantisipasi dengan cepat secara spontan. Menumpuknya masalah yang mengganggu tanzhim da’wah biasanya akibat tidak hidupnya iklim ini, sehingga semua persoalan harus ditanggung oleh tanzhim. Perhatikan firman Allah SWT: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar. Mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maja Bijaksana.” (QS. 9:71).

No comments:

Post a Comment