Jika kita berbicara tentang ashalah dakwah, tentu saja ini
sebuah masalah yang besar, karena terkait langsung dengan ashalah Islamiyah.
Tidak mungkin dibicarakan dalam 1–2 halaman situs ini. Orisinalitas dakwah
tidak memiliki mabadi (prinsip), kecuali mabadi imaniyah dan fikriyah
yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tulisan ini adalah upaya untuk
menyegarkan pemahaman kita.
Ashalah dakwah islamiyah itulah yang dipakai gerakan Islam di mana-mana, tak ada
perbedaannya. Betapa luasnya pembicaraan tentang ashalah dakwah seluas
pembahasan tentang Islam. Salah satu keistimewaan dakwah ialah ruang lingkup
yang tercakup dalam syumuliyah dan takamuliyah (universalitas dan
integralitas) ajaran Islam, juga keterpaduan dari perjuangan, tatanan, serta
sistem yang diterapkan.
Masalah syumuliyah dan takamuliyah itu lebih ke
pendekatan prinsipil, tetapi dari pendekatan operasional terlihat kemampuan
dakwah Islam kontemporer untuk mewarisi nilai-nilai Islam dan nilai-nilai
dakwah dari para Rasul dan Anbiya, para shahabat Nabi dan juga para salafus
shalih. Kemampuan itu dalam bentuk tawazun (keseimbangan) dalam
melakukan langkah-langkah ta’shiliyah (orisinalisasi) dan tathwiriyah
(improvisasi), mutawazinah baina khuthuwat al ta’shiliyah wa khuthuwat
al tathwiriyah.
Itulah salah satu tamayuz (keistimewaan) dakwah kontemporer
yang sebenarnya merupakan tamayuz islami yang banyak diabaikan gerakan
dakwah, meskipun kita respek dan mengakui eksistensi perjuangan mereka
sekaligus mengakui keikhlasan dan pengorbanan mereka dalam berjuang. Tetapi, qudrah
ad da’wah dalam menyeimbangkan ta’shiliyah dan tathwiriyah di
zaman modern ini harus benar-benar dilaksanakan secara konsisten.
Sudah barang tentu, apabila kita membahas dakwah antara upaya
orisinalisasi dan improvisasi perlu waktu yang panjang. Di sini saya hanya
ingin menyampaikan sedikit sebagai dzikra (peringatan) dan sebagai
resume terhadap perjalanan dakwah yang sudah kita lakukan.
Konsistensi kita dalam menjaga ta’shil dan tathwir sangat
penting bagi keselamatan kita sendiri, baik secara pribadi maupun sebagai
sebuah entitas gerakan dakwah. Sebab, tanpa adanya keseimbangan antara
orisinalitas dan modernitas akan banyak sekali kemungkinan penyimpangan dakwah
akibat mengabaikan prinsip keaslian dan pengembangannya. Kita mengetahui
universalitas dan integralitas dakwah tergambar dari upaya membangun hablun
minallah dan hablun minannas yang baik.
Kemampuan kita dalam menjaga keseimbangan dari aspek ta’shil
bertitik berat pada utuhnya komitmen kita kepada Allah dan Rasul-Nya, al Kitab
dan as Sunnah. Sementara konsistensi kita dalam membangun khuthuwat at
tathwiriyah adalah menjaga hablun minannas dengan baik. Tanpa kedua
aspek itu, maka akan terjadi inkhirafat (penyimpangan) yang menimbulkan
bala dan malapetaka di dunia dan akhirat.
Kemampuan kita dalam mengelola dakwah dari sisi ta’shiliyah lebih
dekat kepada konteks hubungan kita dengan Allah dari aspek moral, ma’nawiyah
dan ruhiyah yang dibentengi dengan sehatnya aqidah kita dari kemusyrikan
yang kecil maupun besar, dari kemusyrikan yang tampak maupun tersembunyi, yang
menyelinap dalam pikiran kita. Dengan selalu memperhatikan khuthuwat
ta’shiliyah kita memelihara keutuhan ruhiyah, fikriyah, dan manhajiyah
secara baik.
Salah satu cara untuk mempertahankan kesadaran tentang pentingnya khuthuwat
ta’shiliyah, dalam konteks pembinaan di masa tamhidiyah atau takwiniyah,
adalah kesadaran akan posisi manusia (manzilat al insan) di hadapan
Allah Ta’ala.
Pertama, posisi manusia sebagai makhluk penting disadari, betapapun
tingginya ilmu dan jenjang keulamaan kita, betapapun terhormatnya jabatan kita
di masyarakat atau negara. Menghidupkan kesadaran akan posisi sebagai makhluk
penting dalam aspek ketergantungan kepada Sang Khaliq. Tidak satupun makhluk
ciptaan yang tidak bergantung kepada Pencipta-nya.
Tidak ada satupun produk yang tidak memiliki ketergantungan pada
pembuatnya. Produk keluaran pabrik saja, merek-merek mobil yang terkenal
sekalipun tergantung dari produsen yang membuatnya, baik ketergantungan
teoretis dengan petunjuk manualnya, maupun ketergantungan atas software atau
hardware dalam beragam spare parts yang besar maupun kecil. Itu tampak
sepele, namun sangat penting untuk menunjukkan kesadaran kita bahwa manzilah
kita di hadapan Allah hanyalah makhluk. Itu merupakan modal dasar untuk
senantiasa mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.
Kesadaran kedua dari manusia di hadapan Allah adalah sebagai hamba.
Kesadaran ini penting dibangun sebagai apresiasi dari keinginan, kehendak, dan
rencana yang sangat terkait dengan grand design yang sudah ditentukan
Allah. Kesadaran sebagai makhluk bersifat mutlak, sedang kesadaran sebagai
hamba bisa relatif, banyak yang menolak. Kita tidak mempunyai kehendak apapun,
kecuali dengan apa yang dikehendaki Allah Ta’ala. Ayat al-Qur’an banyak menjelaskan
sisi aqidah dengan memusatkan kesatuan kehendak, keinginan, dan rencana segala
sesuatu sesuai dengan iradah-Nya. Itulah tugas manusia sebagai hamba-Nya.
Ketiga, kesadaran manusia sebagai junud (tentara) Allah.
Sebagai prajurit kita harus merasakan adanya jalur komando dari Allah dan
Rasul-Nya yang mutlak ditaati, sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an. Itulah
posisi kita sebagai prajurit yang senantiasa siap menerima komando. Insya
Allah, jika ketiga jenis kesadaran itu dijaga dengan baik melalui upaya-upaya ta’shil
yang mengarah pada ashalah islamiyah dan dakwah, maka gerakan akan
senantiasa tumbuh.
Setelah kesadaran akan posisi manusia, maka selanjutnya kesadaran
akan watak asli manusia (thabiat al insan). Humanity by nature,
kata orang, kemanusiaan yang sesuai dengan tabiat yang telah ditentukan Allah.
Kesadaran ini penting agar kita tidak terjebak pada persepsi-persepsi yang
mungkin timbul dari rencana-rencana terhadap evaluasi tarbiyah, seolah-olah hal
itu akan mengangkat dan melepaskan kita dari watak kemanusiaan. Kita dididik
melalui proses tarbiyah untuk mengutuhkan kemanusiaan kita, bukan
melepaskannya, baik menuju kemuliaan yang seringkali diidentikkan dengan watak
malaikat. Kita tetap seorang manusia, namun ingin menjadi manusia seutuhnya.
Yang penting bagaimana mengelola kelebihan dan kekurangan yang kita miliki.
Jangan digambarkan dari proses tarbiyah akan muncul insan yang
kamil tanpa cacat. Kita adalah manusia sebagaimana Ibnu Adam lain yang memang
diberi kehormatan, tetapi tetap saja bisa lupa dan sering berbuat salah.
Manusia adalah makhluk yang sering berbuat salah. Kesadaran itu sangat penting
agar dengan kelebihan dan kekurangan manusiawi kita bisa mengelolanya. Dengan
demikian kita akan terjaga dari ghurur (arogansi) seperti Fir’aun yang
merasa dirinya adalah Tuhan, atau juga terjaga dari keputusasaan yang
melumpuhkan dakwah. Kita berjuang sesuai dengan fitrah, sesuai dengan tabiat
insaniyah ataupun tabiat kauniyah yang terdapat dalam diri,
masyarakat dan alam semesta.
Ketiga adalah kesadaran akan tugas kemanusiaan (risalat al insan)
kita. Kita memiliki misi ibadah dan pengabdian. Segala gerak hidup: apa yang
kita miliki, apa yang kita lakukan adalah ibadah. Sehingga, apapun yang kita
miliki harus dikalkulasi, akankah meningkatkan ibadah kita kepada Allah atau
tidak. Misi total kita adalah pengabdian kepada-Nya.
Keempat kesadaran akan misi khilafat al insan. Mengapa
manusia diberi kemuliaan? Karena kita diberi tugas yang besar, yaitu
menjalankan khilafah (pengayoman dan kepemimpinan) yang pada hakekatnya
berlaku untuk semua orang, baik mu’minuhum wa kufrahum, mereka yang
beriman dan amanah maupun tidak.
Kesadaran itu penting agar kita selalu merasa dalam tugas (on
duty), tak ada perasaan mau cuti. Mungkin kita perlu rehat. Ya, rehat itu
dalam rangka mengumpulkan potensi kita untuk melaksanakan tugas lainnya. Bukan
berarti cuti secara total dengan tidak ada kaitannya terhadap misi dan wazhifah
kita. Maka, dalam tarbiyah dikenal adanya program rihlah dan mukhayam
dalam rangka membangun potensi agar langkah kita lebih kuat dan cepat dalam
akselerasi perjuangan ini.
Jika kesadaran tentang manzilat al insan, thabiat al
insan, risalat al insan, dan wazhifat al insan tadi selalu
dijaga, maka proses ta’shiliyah akan senantiasa hidup. Upaya
orisinalisasi harus terus dipertahankan, agar kita terhindar dari efek negatif,
salah satunya berupa pelarutan.
Jika kita mengabaikan khuthuwat at ta’shiliyah, maka dakwah
kita akan mengalami pencairan dan pelarutan. Biasanya sebelum larut akan
mencair terlebih dulu, sebab madah jamidah (benda padat) itu sulit dalam
pelarutan, tetapi madah ma’iyah (benda cair) paling mudah untuk melarut.
Dalam dakwah jamahiriyah kita berinteraksi dengan segala jenis manusia.
Banyak persentuhan dengan manusia dari segala jenis organisasi dan ideologi
bisa menyebabkan tamayu’ al khuluqi (pencairan perilaku). Nau’udzubillah,
hal itu akan berlanjut pada idzabah al khuluqiyah (pelarutan perilaku),
jika kita tidak berpegang teguh pada ashalah.
Akibat dari tamayu’ dan idzabah ini sudah jelas,
indikatornya yang paling menonjol adalah tasahul (menggampangkan atau
menyepelekan) segala pelanggaran. Kita memang harus toleran atas efek negatif
tarbiyah manusia, tetapi bukan mengampangkan, karena itu harus ditindaklajuti
dengan ilaj tarbawi (terapi edukatif) atau ilaj ijtimai (sosial),
ilaj tanzhimi (organisasional) atau ilaj iqtishodi (finansial),
semuanya bisa kita lakukan tergantung masalah yang terjadi.
Semua kondisi direspon dan diantisipasi agar tidak membesar. Sudah
tentu kita sebagai dai harus memperhatikan diri sendiri dan orang lain yang
berada di bawah pengawasan kita. Penyimpangan berawal dari tasahul lama-lama
menjadi idzabiyah, segalanya serba boleh (permisif), dalilnya gampang
dicari. Akhirnya menjadi dalil tunggal, yakni kedaruratan. Yang paling harus
kita waspadai adalah awal pelarutan sebagaimana tadi diungkapkan.
Dalam merespon tugas yang semakin berkembang mungkin terjadi tamayu’
wa idzabiyah dalam ubudiyah mahdlah, karena terlalu sibuk sehingga
dalam sebulan penuh tercatat: shaum (puasa) nol, tahajud nihil.
Dalam baramij tarbiyah semua program itu ada, tetapi sifatnya sebagai
stimulan (ayyam al bid, usbu’ ruhi dan sebagainya). Buah stimulasi
adalah munculnya iradah dzatiyah atau tarbiyah dzatiyah dengan amal
dzati di luar program itu. Harus diwaspadai agar tamayu’ khuluqi dan
idzabah ubudiyah ini tidak timbul. Bila dibiarkan akan berlanjut pada idzabah
fikriyah (ideologis) dan kacau balau. Kita akan mengambil fikrah dari
kiri-kanan dan meninggalkan manhaj yang benar.
Apabila sudah terkena idzabah khuluqiyah, ta’abudiyah,
dan fikriyah, maka akan timbul idzabah aqidiyah. Mulanya mengakui
kesejajaran aneka ragam keyakinan, misalnya di kalangan internal Islam (antara
ajaran Syiah dan Sunnah) adalah sama. Kemudian berkembang keluar dengan
menyamakan ajaran lain seperti komunisme, sosialisme, dan Islam sama saja untuk
manusia juga. Kebenaran yang mutlak hanya dalam Islam, pemahaman seperti itu
menjadi luntur.
Memang semua ajaran ada kebenarannya, tetapi tidak semuanya benar,
yang jelas banyak kesalahannya. Jika lemah dalam langkah-langkah ashalah,
maka akan terjadi idzabiyah dan tamayu’ di berbagai sektor. Jika
hal itu terjadi pada suatu golongan, maka sudah tentu terjadi kehancuran dunia
dan akhirat.
Bila ta’shiliyah tidak diimbangi dengan tathwiriyah akan
menimbulkan tajamud. Mungkin akan merasa bahwa dirinya sajalah yang akan
masuk surga dan yang lain adalah al ma’un, kufr dan sebagainya.
Golongan itu tidak dapat memanfaatkan pengalaman dan potensi orang lain. Ketika
terjadi mutajamid ruhi, maka pemikiran akan sulit menerima masukan dari
orang lain. Bila terjadi tajamud aqidi, maka akan terasa dengan aqidah
semata semuanya akan beres, tetapi aqidah bukan segala-galanya.
Memperhatikan idealitas, rasionalitas dan realitas. Mereka yang
mengabaikan ketiga hal itu terkena wahm. Memperhatikan realitas saja
akan melahirkan sikap pragmatis, memperhatikan idealitas saja akan menghasilkan
perfeksionis, tetapi tak bisa melaksanakan. Sementara memperhatikan
rasionalitas saja akan melahirkan sikap teoretis belaka.
Kita harus mampu mengkomunikasikan rencana dakwah kita dengan baik.
Kemampuan mengkomunikasikan ini intinya ada pada qudrah mukhatabah,
yakni qawlan sadida atau kalimat yang tepat. Bisa bersikap tegas,
lembut, sindiran dan lain-lain. Patokannya adalah “khatibunnas ala qadri
uqulihim” (sesuai kemampuan intelektual), “khatibunnas ala lughatihim”
(memperhatikan budaya dan bahasa kaumnya), karena manusia adalah anak
lingkungannya.
Sebagai dai kita harus memiliki qawlan sadida, baik melalui
pendekatan intelektual, sosial maupun budaya. Yang pertama adalah mengakui
keberadaannya, kemudian mencari cara yang tepat untuk mendekatinya. Dalam
Al-Qur’an ada seruan: “Ya ayyuhannas…ya ayyuhalladzina amanu…” dan
sebagainya. Dengan pemilihan kata yang tepat, maka “yuslih lakum amalakum”.
Menghasilkan kebaikan bagi diri sendiri maupun orang lain. Lebih besar dari itu
semua adalah ampunan dari Allah.
Disusun oleh Tim kajian dakwah alhikmah (Sumber: https://alhikmah.ac.id/orisinalitas-dakwah/)
No comments:
Post a Comment