Wednesday, December 31, 2025

Agenda Da’wah di ‘Am Jamahiri

Da’wah kita berada pada momentum besar. Yaitu secara bersamaan, kita memasuki marhalah jahriyah-jamahiriyah (fase terbuka dan kemasyarakatan) dengan peran-peran perubahan pada mihwar muassasi (orbit kelembagaan).

Ini adalah tadbir dan taqdir Rabbani. Allah Azza wa-jalla memberi kepercayaan dan kesempatan kita untuk meraih derajat amal shalih yang tinggi. Melampaui perkiraan atau perencanaan sebagai manusia.

Jahriyatud-Da’wah

Jahriyah-jamahiriyah. Ini fase yang menuntut kader-kader da’wah mentransformasikan diri dan da’wahnya ke tengah masyarakat, secara terbuka dan luas. Kita menjadi Ashabul-Kahfi yang keluar mendatangi masyarakat dengan da’wah.

Organisasi (partai) da’wah kita jelas. Sebagaimana jelasnya jajaran qiyadah, kader, misi, manhaj dan program-program da’wahnya. Yang penting, bagaimana mengelolanya sebagai anashir quwwah untuk menda’wahi masyarakat. Menyapa dengan bahasa manusia. Berbicara dan berinteraksi dengan bahasa Islam. Mengarahkan dan mempengaruhi dengan bahasa da’wah. Kemudian menggerakkan kebaikan mereka untuk menegakkan Islam, melalui janji-janji syurga. Semua itu bertujuan untuk memperbesar dan memperluas basis dukungan sosial (qaidah jamahiriyah) bagi da’wah.

Ada prinsip-prinsip yang harus dipahami. Pertama, da’wah hak semua manusia dan semua unsur masyarakat. Kita wajib menyiarkan da’wah ke setiap orang. Kedua, masyarakat Islam meliputi beragam unsur dan tingkatan masyarakat. Tua-muda, laki-laki dan wanita, awam dan terdidik, kaya-miskin, politisi dan pedagang, birokrat dan budayawan, dan seterusnya. Agar bangunan masyarakat Islam tegak utuh, maka da’wah harus menjangkau semua. Ketiga, syari’at mengatur semua aspek kehidupan. Dalam men-tahqiq syari’at Islam, maka harus disiapkan lapangan (masyarakat) yang lengkap dalam berbagai unsurnya.

Urgensi Qaidah Jamahiriyah

Dalam kerangka siyasatud-da’wah, perluasan basis sosial da’wah (qaidah jamahiriyah) sangat penting. Ada beberapa alasan. Pertama, perluasan qaidah jamahiriyah akan mengokohkan eksistensi dan daya-tarik da’wah. Organisasi da’wah, du’at dan berbagai wajihat di dalamnya akan tampil lebih kokoh, menarik, berwibawa dan diperhitungkan.

Kedua, memperluas rizki da’wah dengan tersalurkannya tangan-tangan para aghniya untuk menopang da’wah ini. Prinsip sunduquna juyubuna (dana kita adalah dari kantong kita) yang melekat di setiap kader bertemu dengan ta’yid mali (dukungan finansial) para pendukung da’wah. Bukan hanya finansial, tapi juga sarana-prasarana, opini, dukungan politik, dan lain sebagainya.

Ketiga, pembesaran dan perluasan qaidah jamahiriyah akan mempercepat pembentukan mujtama’ Islami. Luasnya iklim penerimaan Islam, akan melahirkan tuntutan spontanitas dari warga masyarakat untuk menerapkan nilai dan ajaran Islam di berbagai bidang kehidupan. Terwujudnya masyarakat Islam, bukan semata karena kuatnya dorongan da’wah, tetapi juga kuatnya kesadaran umat yang menginginkan Islam.

Keempat, memperbesar dukungan suara politik bagi da’wah. Dalam konteks musyarakah siyasiyah (partisipasi politik), dukungan suara menjadi ukuran eksistensi, kredibilitas dan legitimasi politik suatu partai. Semakin besar dukungan suara, semakin kuat posisi tawar dan semakin efektif peran perubahan yang dijalankan.

Kelima, perluasan qaidah jamahiriyah – pada saatnya – akan menghasilkan basis perlindungan bagi eksistensi da’wah. Sunnahnya, setiap harakah da’wah akan menghadapi tantangan, tekanan dan permusuhan dari berbagai kekuatan kuffar. Ketika itu terjadi, dukungan masyarakat yang berperan sebagai benteng dan bumper, sangat diperlukan bagi kesinambungan eksistensi dan misi da’wah.

Terakhir, ia adalah salah satu pilar kesuksesan da’wah dan bukti pertolongan Allah SWT terhadap kebenaran risalah da’wah. “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong. Maka bertasbihlah dengan memuji Rabb-mu dan mohonlah ampun kepadanya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” (QS. An-Nashr: 1-3).

Empat Agenda Da’wah Jamahiriyah

Setelah kita memahami hakikat marhalah jahriyah-jamahiriyah dan urgensi bina al-qaidah al-jamahiriyah, muncul pertanyaan yang lebih operasional. Apa agenda kerja da’wah kita sekarang?

Pada prinsipnya, agenda dan program harus mengacu kepada syumuliyah dan takamuliyah dalam Islam. Artinya, harus menyentuh semua aspek kehidupan da’wah dan masyarakat, serta ada saling keterkaitan antar program-program tersebut. Proporsi dan pembobotan program juga mesti tawazun dan memiliki kejelasan awlawiyat-nya.

Dalam konteks awlawiyat al-‘amal (prioritas kerja) inilah, setiap periode atau tahapan akan memiliki tarkiz (fokus) kerjanya. Secara umum, fokus kerja da’wah pada marhalah jahriyah-jamahiriyah adalah melakukan ri’ayah jamahiriyah. Artinya mendayagunakan potensi-potensi da’wah untuk mengembangkan, memelihara dan mengarahkan basis dukungan sosial da’wah. Ini dalam rangka memperkokoh eksistensi da’wah dan meningkatkan efektifitas peran-peran perubahan yang dilakukan.

Ada tiga agenda besar dalam mengembangkan basis dukungan sosial da’wah. Yaitu siyaghah al-bina al-ijtima’i (merekonstruksi tatanan kemasyarakatan), ri’ayah al-mashalih al-ijtima’iyah (memelihara aset kebaikan masyarakat), hallu al-qadhaya al-ijtima’iyah (memecahkan problema masyarakat) dan taqwiyah at-tadhamun al-ijtima’i (menguatkan solidaritas sosial).

Agenda 1: Siyaghah Al-Bina Al-Ijtima’i

Perlu dipahami, sebuah masyarakat bukan hanya terdiri dari kumpulan manusia dan interaksi. Tetapi juga mencakup kumpulan institusi atau tatanan, dengan beragam struktur dan fungsinya. Tatanan inilah yang menjadi wadah dan saluran berbagai pola interaksi anggota-anggota masyarakat.

Keluarga adalah tatanan terkecil dan inti sebuah masyarakat. Terkecil, karena bisa dibentuk dengan dua orang anggota masyarakat. Keluarga inti kemudian berkembang menjadi keluarga besar (extended family). Keluarga menjadi institusi inti karena ada-tidaknya masyarakat, hidup-matinya dan maju-mundurnya suatu masyarakat sangat ditentukan oleh keberadaan keluarga-keluarga di dalamnya. Itulah sebabnya, Islam memberikan perhatian sangat besar terhadap keluarga.

Dalam maratibul-‘amal (tahapan langkah kerja) da’wah kita, pembangunan institusi keluarga adalah langkah lanjutan pembentukan pribadi muslim dan langkah antara menuju pembangunan masyarakat Islam. Dari sini, peran da’wah keluarga menjadi sangat jelas. Keluarga menjadi sarana hidup untuk mengokohkan kepribadian kader dan mencetak generasi baru da’wah. Juga menjadi sarana da’wah untuk membangun mujtama’ Islami.

Problem sosial masyarakat paling kritis saat ini adalah terkikisnya eksistensi keluarga. Orang muda takut menikah karena ingin bebas, muda-mudi serumah tanpa nikah karena tak ingin terikat, pasangan muda enggan melahirkan anak karena mengganggu karier, keuangan dan kecantikan. Pasangan lama mulai retak karena isu selingkuh, kawin-cerai jadi urusan ringan, single-parent dan single-parenthood menjadi mode, broken home dan loss generation menimpa anak-anak dalam keluarga, dan setumpuk persoalan lainnya.

Siyaghah Al-Bina Al-A’iliy

Dari realitas ini, upaya merekonstruksi dan memperbaiki institusi keluarga di tengah masyarakat menjadi prioritas dalam siyaghah al-bina al-ijtima’i. Kita harus meluruskan kembali orientasi (ittijah) masyarakat tentang berkeluarga. Mengarahkan cara pengelolaan kehidupan keluarga sesuai tuntunan Islam. Membantu penyelesaian problem dan konflik keluarga, mengokohan hubungan dalam keluarga besar (extended family) serta memberdayakan peran-peran keluarga di masyarakat dalam berbagai bidang.

Untuk merealisir hal ini, perlu penyesuaian dalam uslub dan wasilah da’wah. Keluarga adalah cermin kehidupan keseharian setiap orang. Maka diperlukan pem-bahasa-an nilai dan konsep yang normatif ke dalam bahasa komunikasi da’wah yang sehari-hari, praktis dan lebih bernuansa non-formal. Pergaulan da’wah pada akhirnya akan sangat menentukan keberhasilan agenda ini.

Da’wah keluarga juga membutuhkan keluarga da’i sebagai sarana. Bagaimana keluarga da’i menjadi usrah mitsaliyah (keluarga model) yang memiliki misdaqiyah a’iliyah (kredibilitas keluarga). Tentu saja bukan dalam perspektif material. Tetapi bagaimana iklim dan suasana kehidupan keluarga da’i memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh keluarga-keluarga lain, walaupun mereka dilengkapi dengan berbagai sarana material.

Manakala da’wah mampu membangun tali hubungan baik dengan keluarga-keluarga di masyarakat, berarti kita mulai memegang (dan selanjutnya mengendalikan) jantung kehidupan masyarakat. Karena dari keluarga lah, muncul dan berkembang berbagai institusi lain. Misalnya sekolah, masjid, pasar, pabrik, media massa, lembaga kesenian, ormas, dll.

Siyaghah Al-Bina At-Ta’abbudi

Secara sosio-kultural, masyarakat kita bersifat relijius. Di berbagai tempat, kita mudah menemukan masjid, musholla, majelis ta’lim dan perkumpulan peribadahan. Sayangnya, berbagai sarana fisik peribadahan itu mengalami kejumudan dalam aktifitasnya. Penyebabnya karena orang-orang di dalamnya terjebak dalam rutinitas ritual yang parsial dan sektoral.

Institusi-institusi peribadahan ini membutuhkan alam pikiran baru, semangat dan dinamika baru serta pelopor-pelopor kebaikan baru. Nyaris mereka tidak bisa mendapatkan itu semua, kecuali dari kader-kader da’wah ini. Sosok yang hatinya dekat dengan masjid, tampilannya mencerminkan kemuliaan akhlak Islam, pergaulannya menyenangkan semua orang dan pekerjaannya selalu dilakukan dengan ihsan.

Di tengah idealisme fikrah, kita harus mulai memahami latarbelakang sosio-kultural masyarakat. Sehingga kita tahu jalan masuk apa yang tepat. Penguasaan yang lebih atas ‘ulum syar’iyyah (termasuk juga lughah ‘arabiyah) menjadi sangat penting. Dua hal ini, insya Allah akan bisa mengantarkan kita pada jazabiyah da’wah (pesona da’wah).

Siyaghah Al-Bina Al-Iqtishadi

Di antara kebutuhan dasar manusia adalah makan dan minum. Lalu berkembang kepada kesejahteraan dan kekayaan. Maka aktifitas dan institusi ekonomi senantiasa melekat di setiap masyarakat. Pernahkan kita menghitung, berapakah jumlah uang yang beredar dalam sebuah komunitas kecil masyarakat? Pasti sangat besar. Hakikatnya, ia adalah potensi kekayaan umat, namun belum terdayagunakan bagi kepentingan da’wah.

Bila kita menetapkan sebuah masjid sebagai parameter eksistensi suatu komunitas kecil masyarakat muslim, maka setidaknya kita memiliki 100 sampai 200 keluarga. Bila langkah siyaghah al-bina al-‘ailiy dan siyaghah al-bina at-ta’abbudi berjalan efektif, maka kita bisa mengarahkan bentuk-bentuk aktifitas ekonomi dan perputaran uang umat ke dalam bentuk-bentuk usaha ekonomi Islami berbasis masjid. Ini hanyalah satu contoh sederhana. Pelaku-pelaku ekonomi besar sekarang ini menerapkan pola community market dalam usaha retail barang-barang kebutuhan harian. Lihat saja Indomaret yang semakin merambah di kawasan perkotaan.

Siyaghah Al-Bina At-Ta’limi

Institusi berikut yang penting adalah pendidikan. Walaupun tugas utama ada pada keluarga, tapi di dalam masyarakat yang semakin kompleks, fungsi pendidikan anak dikembangkan kepada sektor formal. Bahkan di perkotaan, institusi pendidikan formal nyaris menjadi satu-satunya lembaga yang membentuk aspek-aspek kepribadian anak.

Realitas sekarang diwarnai gejala ketidakmampuan sekolah (dan kampus) dalam menjalankan fungsi-fungsi pendidikan secara efektif. Tawuran massal, sex bebas, narkoba dan tindak kriminal mulai menjadi budaya baru kaum pelajar/mahasiswa. Di tengah ketidakmampuan ini, muncul ironi lain di mana aktor-aktor pendidik justru terlibat dalam berbagai bentuk penyakit moral dan sosial.

Secara historis, da’wah kita berangkat dari sekolah dan kampus. Nyatanya pula, banyak kader da’wah yang bergerak di sektor pendidikan formal dan informal. Ini menjelaskan bahwa ada potensi besar tersedia di hadapan kita, untuk merekonstruksi dan memperbaiki tatanan pendidikan di negeri ini. Ingat, kemajuan peradaban suatu bangsa ditentukan oleh tingkat pendidikan masyarakatnya.

Dalam konteks ini, agenda da’wah diarahkan untuk menyiapkan aktor-aktor pendidik dari barisan kader da’wah. Tugasnya mewarnai berbagai institusi pendidikan yang ada. Mengembangkan wacana konsep pendidikan baru yang Islami dan gagasan solutif bagi benang-kusut pendidikan di negeri ini. Juga mengembangkan sekolah-sekolah model yang nantinya akan diadopsi oleh berbagai sekolah di tengah-tengah masyarakat.

Demikianlah, upaya merekonstruksi dan memperbaiki tatanan kemasyarakatan harus menjangkau sektor-sektor lain. Kerja ini bersamaan dengan upaya merekonstruksi tata-nilai dan orientasi kebutuhan hidup masyarakat yang sejalan dengan Islam. Sehingga akan muncul interrelasi antara nilai Islami, pola hubungan dan interaksi Islami, kebutuhan dan kepentingan riil masyarakat yang Islami dengan berbagai institusi yang juga mengalami Islamisasi.

Agenda 2: Ri’ayah Al-Mashalih Al-Ijtima’iyah

Agenda kedua adalah ikut memelihara aset kebaikan masyarakat. Syumuliyah ar-ru’yah menuntun kita melihat dan menilai masyarakat secara obyektif. Di tengah kebodohan terhadap Islam dan kerusakan budaya akibat serbuan budaya permisif barat, masyarakat masih memiliki potensi dan aset kebaikan. Baik yang bersifat materiil maupun non-materiil.

Pada masyarakat yang mengalami transisi kebudayaan, seringkali tidak mampu memelihara kebaikannya secara efektif. Sehingga tatanan budayanya nyaris berganti sama sekali dengan sesuatu yang baru. Atau ketika hal baru itu sesuatu yang baik, mereka seringkali tidak mampu memeliharanya.

Realitas sosial masyarakat kita sangat dekat dengan ini. Misalnya krisis adab pergaulan antara anak dan orang-tua, antara guru dan anak-didik. Juga dalam kebiasaan hidup semacam pengajian anak-anak pada sore hari di musholla atau surau, ibu-ibu yang menyenandungkan shalawat saat menidurkan anaknya, sampai kepada kisah-kisah kepahlawanan tokoh-tokoh Islam lokal.

Di sini, da’wah memiliki kewajiban memelihara kebaikan yang ada di masyarakat. Sehingga kita tidak membangun dari nol, dan akan mempercepat pembentukan masyarakat Islami. Alhamdulillah, selama ini kita banyak menginspirasi dan mensyiarkan berbagai bentuk budaya Islam. Berkembangnya senandung shalawat di masyarakat tidak bisa dilepaskan dari semarak anasyid da’wah. Berkembangnya mode busana muslimah yang trendy juga tak lepas dari syi’ar jilbab yang diperjuangkan aktifis da’wah.

Yang perlu kita pahami bersama, kebaikan masyarakat ada yang bersifat syar’i dan ada yang sifatnya ‘urf (adat kebiasaan). Budaya gotong-royong, kerja bakti, siskamling, arisan warga, dan lain sebagainya adalah adat baik yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan da’wah. Ini mashlahat dari sisi budaya.

Dari sisi material, masyarakat memiliki banyak kebaikan fisik yang tidak mampu mereka pelihara. Masjid-masjid baru yang megah, sarana transportasi umum yang vital, taman-taman kota, dan lain sebagainya. Apabila da’wah ikut terlibat dalam memelihara aset-aset kebaikan material masyarakat semacam ini, maka akan menghasilkan simpati dan dukungan besar dari warga masyarakat. Bahkan tidak mustahil, dukungan finansial (ta’yid mali) akan mudah diberikan oleh mereka.

Ketika kerja da’wah dilakukan dalam bentuk ini, maka tersedia peluang lain bagi da’wah. Yaitu pemanfaatan secara optimal alokasi dana-dana pembangunan pemerintah daerah yang relatif besar jumlahnya. Pihak pemerintah akan senang dan merasa lebih aman apabila dana-dana semacam itu dikelola dan dikerjasamakan dengan lembaga-lembaga da’wah yang memiliki kredibilitas moral serta kemampuan kerja profesional.

Agenda 3: Hallu Al-Qadhaya Al-Ijtima’iyah

Agenda ketiga, berperan aktif dan pro-aktif dalam memecahkan problematika masyarakat. Ada pelajaran sejarah yang sangat berharga dari Sirah Nabawiyah. Ketika kabilah-kabilah di Makkah nyaris konflik akibat tidak menemukan kesepakatan dalam peletakan kembali Hajar Aswad, akhirnya Muhammad SAW tampil sebagai “problem solver” bagi mereka. Masalah selesai tanpa konflik dan mereka semua puas dengan solusi yang diberikan nabi. Apa hasilnya? Tokoh-tokoh dan masyarakat Makkah menggelari nabi Muhammad sebagai “Al-Amin”. Sebuah pengakuan dan penghargaan sosial yang sangat mahal.

Begitu pula dengan nabi Yusuf as. Dengan kecerdasan intelektual dan bimbingan Allah SWT, beliau mampu memberikan solusi jitu terhadap ancaman krisis pangan panjang di negeri Mesir. Alhasil, Yusuf as mendapatkan posisi tawar yang kuat sehingga mendapatkan jatah di kursi pemerintahan.

Demikian pula nabi Musa as. Dorongan spontan untuk membantu putri-putri nabi Syuaib yang mengalami kesulitan dalam memberi minum gembalaannya, menghasilkan ganjaran sosial yang luar biasa. Nabi Musa as diambil sebagai menantu oleh nabi Syua’ib.

Kisah-kisah di atas menjelaskan kepada kita urgensi dari keterlibatan untuk menyelesaikan berbagai problem masyarakat. Yang diperlukan pertama kali adalah pengenalan lengkap kita atas peta persoalan masyarakat di berbagai aspek. Tafa’ul maydani yang intens akan menghasilkan wawasan dan pemahaman yang baik tentang hal ini. Bila saja seorang kader bisa mendeskripsikan kondisi wilayah geografisnya dalam lingkup se-kelurahan/desa, maka ia akan memiliki peluang sebagai unsur problem solver.

Dengan mengklasifikasi dan membobotkan jenis-jenis persoalan masyarakat, kita bisa memformulasi program-program riil apa yang dibutuhkan sebagai solusi. Dari keseluruhan program solutif itu, kita bisa jabarkan mana-mana yang menjadi porsi kerja da’wah secara langsung, dan mana yang diarahkan realisasinya kepada unsur-unsur masyarakat lain, termasuk unsur pemerintahan.

Kejelasan agenda dan program da’wah – yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat – akan menggiring kita untuk menganalisis daya dukung dan daya topang da’wah untuk merealisasikannya. Di sinilah perencanaan strategis dilakukan di berbagai tingkat struktur dan unit-unit organisasi da’wah. Program yang sesuai dengan daya dukung dan daya topang da’wah, tentu diprioritaskan. Adapun yang belum bisa dijalankan, perlu dilakukan langkah-langkah konsolidasi kekuatan da’wah. Ini dilakukan dengan peningkatan kemampuan kerja di berbagai sisi dan dengan memperluas tingkat partisipasi warga masyarakat.

Metode Charity

Dalam wacana social action, ada sejumlah metode yang bisa dilakukan. Paling klasik adalah metode charity atau ‘amal khairy. Yaitu membantu pengentasan problem masyarakat dengan pendekatan pelayanan kebajikan secara cuma-cuma. Misalnya: bantuan pangan, bakti sosial, pelayanan kesehatan, santunan yatim-piatu, dan sejenisnya. Metode ini berguna untuk membangun kontak dan simpati masyarakat terhadap da’wah. Tetapi kelemahannya, ia tidak mampu memecahkan problem sosial secara tuntas. Kadangkala dampak negatifnya adalah memanjakan masyarakat.

Metode Community Development

Metode lainnya adalah pembangunan komunitas atau community development. Metode ini berpijak pada prinsip pemberdayaan masyarakat melalui kemampuan mandiri dalam skala komunitas. Di sini, da’wah memberikan bimbingan dan fasilitas kepada suatu komunitas untuk memberdayakan dan mengembangkan kehidupan sosial-ekonominya, sampai akhirnya mereka bisa berjalan sendiri.

Misalnya, program pengelolaan dana zakat untuk proyek pemberdayaan usaha peternakan di suatu komunitas. Kita memberikan penyuluhan, fasilitas, bimbingan dan supervisi tentang usaha peternakan di suatu komunitas. Setelah berjalan baik, maka mereka bisa dilepas, dengan supervisi yang bersifat periodik. Metode ini cukup efektif. Namun cukup banyak kendala sosio-kultural, karena komunitas miskin umumnya memiliki tingkat residensi dan tingkat keterikatan sosial yang lemah. Selain kendala struktural – dalam aspek ekonomi dan politik – yang menyulitkan komunitas ini mengembangkan usahanya.

Metode Advokasi

Atau berikutnya metode advokasi. Ini berangkat dari asumsi bahwa banyak problem sosial adalah akibat dari ketidakadilan struktural, khususnya di bidang ekonomi, hukum dan politik. Agar masyarakat mampu mengembangkan dirinya, maka dibutuhkan iklim keadilan dari pihak penguasa atau kekuatan-kekuiatan struktural lainnya. Misalnya masalah upah buruh, hak-hak pekerja wanita dan anak, `penggusuran tanah, perlindungan hukum bagi pembantu rumah-tangga, dan sebagainya. Di sini, da’wah berperan melakukan advokasi atas nama warga masyarakat untuk mendapatkan hak-haknya secara layak.

Metode advokasi umumnya dijalankan oleh berbagai asosiasi independen yang menggeluti bidang-bidang kerja tertentu. Misalnya asosiasi tentang hak-hak konsumen, asosiasi tentang hak-hak khalayak media massa, asosiasi tentang perlindungan pekerja wanita dan anak, dan lain sebagainya. Maka menjadi sangat penting, berbagai wajihah dan muassasah yang banyak dikelola aktifis da’wah diarahkan untuk fokus pada bidang-bidang yang spesifik.

Metode Aggregasi Politik

Lainnya adalah metode aggregasi politik. Yaitu upaya untuk mendorong lahirnya kebijakan perundang-undangan dan peraturan-peraturan yang memihak kepada kepentingan rakyat. Ini umumnya fungsi yang dilakukan oleh partai politik melalui aksesnya di lembaga legislatif, eksekutif dan juga yudikatif. Problem-problem kemasyarakatan diidentifikasi dengan pendekatan sistem dan kemudian ditindaklanjuti dengan solusi yang sifatnya legalistik. Misalnya untuk mengatasi problem waktu sore anak-anak yang sulit dialokasikan untuk aktifitas belajar di rumah, dijawab dengan produk kebijakan melalui undang-undang atau peraturan tentang “jam belajar warga”, peraturan tentang “program siaran tv pada saat jam belajar warga”, dan lain sebagainya.

Dalam konteks otonomi daerah dimana proses pembangunan masyarakat terfokus pada daerah tingkat dua (dati II), da’wah akan lebih mudah mengindentifikasi problem masyarakat dan melakukan aggregasi politik pada tingkat lokal. Sehingga sangat mungkin, dinamika aktifitas politik da’wah tingkat lokal lebih intensif ketimbang tingkat profinsi atau nasional.

Agenda 4: Taqwiyah At-Tadhamun Al-Ijtima’i

Salah satu ciri penting keumatan adalah rasa ikatan sosialnya. Dalam konteks umat Islam, keterikatan umat Islam bersifat ideologis yaitu kesatuan iman dan Islam. Ini merupakan ikatan paling kuat dan mampu menggerakkan. Pada sisi lain, ajaran-ajaran Islam sangat kaya dengan nilai dan perilaku yang mengarahkan pada terwujudnya rasa solidaritas sosial dalam berbagai dimensinya.

Misalnya keterikatan nasab-kekerabatan, hubungan ketetanggaan (neighbourhood), keterikatan antara muzakki dan mustahik, solidaritas antara yang kuat dan lemah, dan seterusnya. Bentuk-bentuk ikatan ini tidak hanya berlaku dalam ruang-lingkup keluarga, lokal kedaerahan, kebangsaan tapi juga meluas dalam ruang-lingkup internasional (‘alamiyah).

Munculnya berbagai problematika umat menjadi sarana efektif untuk menguatkan rasa solidaritas sosial ini. Bahkan dalam pengalaman sejarahnya, isu-isu internasional keumatan, sangat efektif dalam menggalang rasa persatuan umat, mobilisasi dukungan dana sampai pada upaya jihad internasional.

Perang Afghanistan, Qadhiya Palestina, Genocide di Bosnia, dan lainnya telah menunjukkan bukti-bukti nyata. Di skala lokal, kasus Maluku, Poso, Aceh juga tidak kalah efektif sebagai bahan perekat solidaritas umat. Di sinilah, da’wah harus mulai secara lebih nyata, luas dan intensif mengelola berbagai persoalan keumatan untuk membangun basis dukungan sosial umat.

Bukti lain, ketika da’wah merespon berbagai bencana alam dalam aksi solidaritas kemanusiaan, muncul simpati luar biasa dari warga masyarakat terhadap da’wah. Bahkan sunnahnya, da’wah senantiasa terdepan dalam merespon masalah ini.

Inilah empat agenda utama yang ada di hadapan kita sekarang. Beragam metode sudah tersedia. Dalam kaitan ini, kita tentu saja bisa mencari formula yang tepat dari berbagai metode yang tersedia. Yang pasti ada perbedaan mendasar. Da’wah akan melakukan metode-metode ini dengan kerangka nilai-nilai da’wah. Sehingga kita memandang persoalan masyarakat secara lebih utuh, dan bukan hanya dari sisi permukaan belaka.

Rahasia Kesuksesan Jahriyah-Jamahiriyah

Kesuksesan marhalah jahriyah-jamahiriyah akan diraih manakala kader-kader da’wah menempatkan dirinya sebagai bagian utuh dari masyarakat. Melalui kepribadian insani, kepribadian Islami, kepribadian da’i dan kepribadian ijtima’i-nya, masyarakat akan mengenal mereka, simpati pada kebaikannya, cinta dengan kehidupannya dan mendukung perjuangannya.

Kesuksesan ini juga akan diraih, manakala kader-kader da’wah mampu memperbaiki kehidupan masyarakat bukan semata dengan kata-kata. Sesuatu yang memang diperlukan untuk merekonstruksi alam keyakinan dan alam pikiran masyarakat. Tetapi juga melengkapi solusi kata-kata dengan solusi aksi dan kerja nyata.

Terlalu banyak persoalan masyarakat dan umat yang butuh solusi praktis dan pragmatis. Soal kebodohan, kemiskinan, ketertindasan, keterancaman, kesenjangan, dan lain sebagainya. Masyarakat membutuhkan kehadiran para pelopor yang bisa menggerakkan alam sadar, alam kemauan dan alam keberanian mereka, untuk menyelesaikan problematika hidup yang sudah sangat menghimpit. Perhatikanlah ayat-ayat berikut ini:

Maka hendaklah mereka menyembah Rabb pemilik rumah ini (Ka’bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.” (QS. Quraisy: 3-4)

Hai nabi, kobarkanlah semangat para mu’min itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar di antara kamu, mereka dapat mengalahkan seribu dari orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.” (QS. Al-Anfaal: 65)

Kesuksesan semacam ini telah diiraih oleh baginda nabi Muhammad SAW. Rahasianya, karena beliau memiliki syakhsiyah jahriyah-jamahiriyah yang kuat. Inilah yang digambarkan secara indah dalam ayat: “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaanmu. Sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu. Amat belas-kasih lagi penyayang terhadap orang-orang mu’min.”(QS. At-Taubah: 128).

No comments:

Post a Comment