Muhawalat Li Idzabati Itijahat Tatkir Infirodiyah
(Upaya Melarutkan Orientasi Pemikiran Infirodi)
Saat ini, kita tengah berada dalam proses "innallaha isytara mu'minin", untuk menyempurnakan arti jual beli anfusahum wa amwalahum, jiwa dan harta, sebagai alat tukar dengan surga. Meski dirasa sangat tak sepadan antara yang kita berikan denga jannah yang Allah janjikan, tapi semoga tekad untuk menyerahkan amwal dan anfus kita dapat diaplikasikan dengan haqqa tuqatihi, optimal untuk Allah semata.
Muhawalah adalah upaya. Dia adalah bagian dari persiapan kita, hingga pada saatnya, bila kita dipanggil Allah kita sudah siap. Kenapa kita perlu muhawalah, karena tak ada yang mampu merubah hati orang kecuali Allah SWT. Sebagai manusia hanya dalam batas upaya-upaya.
Setiap kita mengalami perjalanan yang permasalahannya tidak bisa hanya diatasi dengan teori-teori tapi juga dengan membaca perjalanan panjang dan pengalaman. Dalam perjalanan panjang ini, ada saja perasaan menggoda yang membuat kita terpeleset, dan pada satu saat peristiwa itu bisa membuat kita tertawa, karena kelakuan kita yang masih hijau. Memasuki jama'ah adalah ibarat memasuki sebuah wilayah baru, memasuki kultur baru yang memiliki karakter dan tuntutan yang berbeda. Sedang kita yang berada dalam kultur tersebut, masih jauh dari sejumlah teori yang kita miliki. Teori "al-wajibat aktsaru minal awqat" itu sudah lama, tetapi kenyataannya kita masih banyak perlu prakteknya. Seringkali waktu terbuang oleh aktivitas yang mungkin sia-sia. Pertemuan-pertemuan dengan saudara seagama, menurut Ibnu Qayyim dalam sebuah kitabnya, ada dua bentuk; Kumpul-kampul sekedar mengisi waktu, bahayanya lebih besar dari manfaatnya. Dan minimal akan merusak hati dan meyai-nyiakan waktu. Kedua berkumpul dalam rangka ta'awun, dan saling taushiyah. Ini yang paling mahal dan bermanfaat. Tapi di dalamnya ada tiga penyakit, pertama bila muncul sikap saling membanggakan diri, kedua bila pembicaraan lebih dari keperluan, ketiga bila kedua hal itu sudah menjadi kebiasaan.
Taqwiyatul 'alaqah qalbiyah
Hati adalah raja, pengambil keputusan. Yang Iainnya adalah instrumen, termasuk akal. Akal adalah ibarat operator yang setia, sedangkan hati yang memprogram. Baik buruk akal tidak berperan, tetapi hati yang berperan. Bila ada lampu merah, menurut akal ini tanda berhenti, tapi hati berkata Iain, ini waktu malam, maka tancap saja. Akal hanya memberi ingat.
Hubungan hati antara kaum mu'minin itu harusnya kuat. Bila tak ada telepon dan tak ada pager, tapi harus ada 'alaqah qalbiyah, sehingga masalah bisa terselesaikan. Meski tidak pula berharap terlalu jauh mendapat karamah para sahabat yang mendengar suara khalifah Umar ra di Palestina. Pentingnya fungsi hati, maka Rasulullah bersabda, "istafti qalbak", minta fatwa hatimu.
Salah satu bentuk kuatnya 'alaqah qalbiyah antar para ikhwah adalah tidak menuntut tetapi berupaya memberi. Tidak meminta tapi berupaya untuk memulai sendiri. Tangan yang memberi adalah tangan yang di atas, karena posisinya di atas, untuk turun ke bawah lebih terjamin. Itulah gravitasi. Hal jazaa ul ihsan illal ihsan. Jangan menuntut kenapa orang Iain tidak bersikap ini dan itu, tapi harus dimulai.
Cermin Iainnya, berusaha mencari udzur atas kesalahan akh. Tidak mengambil tindakan secara dzahir atas kesalahan akh, tetapi dengan ta'wil. Mungkin saja kesalahan itu timbul atas kesalahan kita, sehingga ada perkataan, "qabla an taghdhab hal addailal wajib", sebelum marah apakah anda sudah melakukan kewajiban ?. Taqwiyatu 'alaqah qalbiyah sangat perlu di berikan pada person pada fase tertentu. Bentuknya bisa lewat pemberian hadiah, kunjungan dan saling dialog.
Tawazunul Ittishalat
Menyeimbangkan hubungan-hubungan. Jangan menjadi birokrat yang tanpa perasaan sehingga hubungan bersama ikhwah berlaku seperti dalam dinas dan kelembagaan. Tapi jangan juga menjalin hubungan yang terlalu dekat, karena akan timbul masalah. Keseimbangan kedekatan hubungan yang sifatnya pribadi dan jama'i harus ada. Harus seimbang, tawazun. Di antara kasus tamarrud (pembangkangan) diłatarbelakangi sikap yang terialu dekat antara murabbi dan mutarabbi, seperti teman. Sebaliknya, kalau hubungan kejama'ahan berlebihan,akan timbul ledakan-ledakan tersembunyi. Karena itu, dałam al-Qur'an mu’amalah dengan Rasulullah dan keluarganya juga memiliki kekhususan, dan terbatas, meski beliau dekat dengan para sahabat ra. Suatu saat bercanda, tetapi pada waktunya tetap tegas. Bagaimana ini bisa diwujudkan? Pernah ada seorang ikhwah izin untuk dipindah pada saya, tetapi saya ingin memberi pelajaran kepada dia, bagaimana pahitnya ta’at seorang jundi, sekaligus bagaimana pahitnya qiyadah mengatakan tidak.
Ihya Ruhi syura
Menghidupkan ruh syura. Dalam sebuah hadits shahih dikatakan, "al-musytasyaru mu'taman”, orang diajak musyawarah adalah diberi amanat. Jadi tidak boleh risih mengungkapkan pendapat. Jangan takut ditolak, dan tidak kesal bila tidak diterima. Syuro juga salah satu upaya menggali sumbatan-sumbatan. Di samping dapat menjadi wadah pelatihan dan pendidikan orang banyak, melalui sumbang saran dan pendapat. Salah satu adab dalah syuro juga harus tunduk pada keputusan akhimya, disinilah urgensinya.
Al-Hiwar al-mutabadil fi fiqhi da 'wah
Kenapa perlu ada dialog timbal balik dalam fiqh dakwah, karena fiqh dakwah adalah hasil interpretasi dari perjalanan dakwah Rasulullah. Rasul bersabda shallu kama roaitumuni ushalli, khudzuu 'anni manasikakum, uďu kama roaitumuni aďu, khudzu ‘anni da'watakum, jihadakum. Karena tafshil atau rinciannya berbeda, maka perlu hiwar. Dalam al-Qur'an juga disebutkan perbedaan visi antara Nabi Musa dan Khidir as.
Hiwar semakin perlu, ketika terjadi peningkatan kebijakan. Karena perubahan suasana, kalau hiwar kurang bisa jadi orang bertindak sendiri-sendiri. Tidak hadir usrah karena kepentingan sya'biyah. Tak perlu kaget dengan perubahan qoror, kaget sebentar boleh tapi jangan terus-terusan.
'Adamu tahjiri wa tahjirii fikri
Tidak boleh ngotot dan bersitegang terhadap satu pandangan dan tidak menyingkirikan diri dalam berfikir ('uzlah). Tidak berfîkir perfectionis, semuanya harus sempurna sekaligus. Tidak semua orang seperti Harnzah yang pedangnya tajam. Hasan bin Tsabit lidahnya yang tajam. Dalam dinamika harakah, setiap orang justru dapat tumbuh sesuai karakternya. Tidak jumud, kaku.
Ihya ruhi naqd dzati
Menghidupkan ruh self koreksi/otokritik. Ini juga harus tawazun. Menghidupkan introspeksi seimbang dengan tumbuhnya ekstropeksi. Tidak ke dalam saja, sehingga tak dapat memberi keluar. Kaum muslimin dijadikan Allah untuk ”ukhrijat linnas” bukan "ukhfiat” (disembunyikan). Di sanalah dapat dilakukan ”ta'muruna bil ma'ruf wa tanhauna 'anil mungkar". Kenapa ”tu'minu billahi"nya diungkapkan setelah amar ma'ruf nahyu mungkar, bukan karena tidak penting. Tapi karena khusuhiyah ummat Muhammad itulah harus ditampilkan pada ummat manusia. Kalau kita lihat ternyata para sahabatpun menyebar. Makam mereka kebanyakan tidak ada di Madinah.
Juga jangan mengkritik orang terus menerus, seperti anak kejar layangan dan tak melihat lobang di depannya. Otokrotik juga perlu. Rasul saw bersabda, ”idza aradallahu bi 'abdin khairan, basharahu bi'uyubi nafsihi”, ”thuba liman syagalahu 'uyuubuhu 'an ‘uyubi ghairihi”. Beruntung orang yang disibukkan oleh kekurangan dirinya dan bukan oleh kekurangan orang lain. Rasul juga bersabda, ”Allahumma basshir bi 'uyubi nafsi..". Tapi, otokritik terus menerus juga tidak baik, seperti para shufi, asyik dengan urusan pribadi, tidak peduli dengan urusan ummat.
'Adamul tathawul 'alal jama'ah
Tidak merasa lebih hebat dari jama'ah, lawannya adalah tawadhu'. Karena kita belum tentu tahu bahwa amal orang lain lebih rendah dari kita, dan kita dia lebih baik dari mereka. Ada orang yang karena tida sabar melihat rekan-rekannya sehebat dia, dia lalu pergi. Seperti musang mengambil buah, belum tahu isinya dia sudah bilang asem. Kalau merasa di bawah kita belajar dari orang itu, kalau merasa di atas kita memberi kepada yang di bawah. Daripada menyimpan perasaan lebih baik kita jadi pembangun. Beda ashabul 'ilmi dengan ashabul fikrah. Kalau ada kulit pisang di depan pintu, ashabul 'ilmu protes, tapi tidak diambil. Sedang ashabul fikrah, kalau ada kulit pisang di jalan, diambil lalu berupaya menasehati, diperbaiki orang pelakunya. Yang dikatakan ridha dengan sesuatu itu, juga ridha dengan yang keluar dari sesuatu itu. Ar-ridha bi syai'i ridha bima yatawalladu minhu. Ridha dengan jama'ah ridha juga dengan program-programnya, jangan menggerutu tapi tak mau kerja.
Raf’u mustawa al-ihtimam bi tanzhim
Mengutamakan dan memperhatikan tanzhim. Yang paling bisa mengobati penyakit kita adalah diri kita sendiri, bukan orang lain. Tetapi bagaimana tercipta kerinduan dengan liqo usari. Dakwah rnemang selalu berhadapan dengan kendala. Waktu liqa ada kendala dari istri dan sebagainya. Tapi bila kita bisa mengatasi kendala itu satu kali, ibarat kapal yang memecah es.
Insya Allah jalan dihadapannya akan terbentang. Dalam al-Qur'an disebutkan, “aradhan qashidan” itu adalah kendala hubbun dunya, dan "safaran qashidan” itu adalah karahiyatul maut.
Hayawitul harakah
Dinamisasi harakah. Gerak yang hidup bukan asal ada atau karena
digerakkan, atau karena dipanggil baru datang. Tapi dinamika harakah yang akan
menumbuhkan vitalitas muharrik. Jarang berinteraksi dengan aktivitas, jarang
melakukan manuver, menjadikan kebekuan dan kejenuhan. Seorang akh harusnya
aktif mencari peluang, hingga terpacu oleh tantangan.
No comments:
Post a Comment