الْحَدِيثُ
السَّابِعُ وَالْعِشْرُونَ. عَنِ النَّوَّاسِ بْنِ سَمْعَانَ الْأَنْصَارِيِّ
قَالَ: «سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ
الْبِرِّ وَالْإِثْمِ، فَقَالَ: الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ، وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ
فِي صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ» رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
وَعَنْ وَابِصَةَ بْنِ مَعْبَدٍ قَالَ: «أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: جِئْتَ تَسْأَلُ عَنِ الْبِرِّ وَالْإِثْمِ؟ قُلْتُ:
نَعَمْ، قَالَ: اسْتَفْتِ قَلْبَكَ، الْبَرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ،
وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ، وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي النَّفْسِ،
وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ، وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ» .
قَالَ الشَّيْخُ رَحِمَهُ اللَّهُ: حَدِيثٌ حَسَنٌ رَوَيْنَاهُ فِي "
مُسْنَدَيِ " الْإِمَامَيْنِ أَحْمَدَ وَالدَّارِمِيِّ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ.
Dari An-Nawwas bin Sam’an Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,
"Kebaikan ialah akhlak yang baik dan dosa ialah apa saja yang menggoncangkan
jiwamu dan engkau tidak suka manusia melihatnya”. (Diriwayatkan Muslim). [1]
Dari Wabishah bin Ma’bad
yang berkata, aku datang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam kemudian
beliau bersabda,
"Engkau datang untuk bertanya tentang kebaikan dan dosa?" Aku menjawab, "Ya”. Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam bersabda, "Mintalah fatwa kepada hatimu. Kebaikan ialah apa saja yang jiwa tentram kepadanya dan hati
damai dengannya. Dan dosa ialah apa saja
yang menggoncangkan di jiwa dan meragukan di dada, kendati manusia berfatwa
kepadamu”. [2])
Syaikh (An-Nawawi) Rahimahullah berkata, "Hadits tersebut hasan. Kami meriwayatkannya di Musnad Imam Ahmad dan Musnad Ad-Darimi dengan sanad hasan”.
Hadits An-Nawwas bin Sam’an
diriwayatkan Muslim dari riwayat Muawiyah bin Shalih dari Abdurrahman bin
jubair bin Nufair dari ayahnya dari An-Nawwas. Muawiyah, Abdurrahman, dan bapaknya
adalah para perawi yang hanya diriwayatkan Muslim tanpa Al-Bukhari.
Sedang hadits Wabishah
diriwayatkan Imam Ahmad dari jalur Hammad bin Salamah dari Az-Zubair bin Abdussalam
dari Ayyub bin Abdullah bin Mikraz dari Wabishah bin Ma’bad yang berkata, aku
datang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan ingin bertanya kepada beliau mengenai
segala sesuatu tentang kebaikan dan dosa. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepadaku, "Mendekatlah hai Wabishah”. Aku pun mendekat kepada
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam hingga lututku
menyentuh lutut beliau kemudian beliau bersabda, "Hai Wabishah, aku jelaskan kepadamu tentang sesuatu yang ingin
engkau tanyakan kepadaku”. Aku
berkata, "Wahai Rasulullah, jelaskan kepadaku”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Engkau datang untuk bertanya tentang kebaikan dan
dosa?" Aku menjawab, "Ya”.
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menyatukan
tiga jarinya kemudian menusukkannya
ke dadaku sambil bersabda, "Hai Wabishah, bertanyalah kepada
hatimu. Kebaikan ialah apa saja yang hati tentram kepadanya dan jiwa damai kepadanya. Dan dosa ialah apa saja yang
menggoncangkan hati dan meragukan di
dada, kendati manusia berfatwa kepadamu dan mereka berfatwa kepadamu”. Di riwayat lain Imam Ahmad bahwa Az-Zubair
tidak mendengarkan hadits tersebut
dari Ayyub. Az-Zubair berkata, "Teman-teman Ayyub menceritakan hadits tersebut
kepadaku dan aku melihat Ayyub”. Di sanad hadits tersebut terdapat dua hal dan karena keduanya hadits tersebut wajib
dilemahkan;
1.
Sanad hadits tersebut
terputus antara Az-Zubair dengan Ayyub, karena Az-Zubair meriwayatkan hadits tersebut dari kaum yang ia tidak mendengarnya
dari mereka.
2. Az-Zubair adalah perawi dhaif. Ad-Daruquthni berkata, "Ia meriwayatkan hadits-hadits munkar”. Ia juga dianggap sebagai perawi dhaif oleh Ibnu Hibban. Ibnu Hibban menamakannya Ayyub bin Abdussalam, namun itu
tidak benar. Hadits tersebut mempunyai jalur lain dari Wabishah yang diriwayatkan Imam Ahmad [3])
dari riwayat Muawiyah bin Shalih dari Abu Abdullah As-Sulami yang berkata, aku dengar dari
Wabishah kemudian Abu Abdullah
As-Sulami menyebutkan hadits tersebut secara ringkas. Teks haditsnya ialah bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
"Kebaikan ialah apa saja yang
dada senang kepadanya dan dosa ialah apa saja
yang menggoncangkan dadamu kendati manusia berfatwa kepadamu tentang sesuatu
tersebut".
Tentang Abu Abdullah
As-Sulami, Ali bin Al-Madini berkata, "Ia tidak dikenal identitasnya”.
Hadits tersebut juga
diriwayatkan Al-Bazzar dan Ath-Thabrani [4])
dan menurut keduanya
perawinya ialah Abu Abdullah Al-Asadi. Al-Bazzar berkata, "Saya tidak tahu seseorang pun yang memberi nama seperti itu”.
Itu yang dikatakan Al-Bazzar. Di
sebagian riwayat, Abu Abdullah dinamakan Muhammad. Abdul Ghani bin Sa’id
berkata, "Jika ada orang berkata bahwa ia (Abu Abdullah) ialah Muhammad bin Sa’id Al-Mashlub (disalib), maka aku
menolaknya, karena Al-Mashlub (orang yang
disalib tersebut) disalib Al-Manshur karena kafir. Ia terkenal pendusta,
pembuat hadits palsu, dan tidak bertemu
Wabishah, wallahu a’lam”.
Hadits tersebut
diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dari banyak jalur dan sebagian jalurnya baik. Hadits tersebut diriwayatkan
Imam Ahmad dan Ibnu Hibban di Shahihnya dari jalur Yahya bin Abu Katsir dari Zaid bin Sallam dari kakeknya yang bernama Mamthur dari Abu Umamah Radhiyallahu Anhu yang berkata,
“Seseorang berkata,
“Wahai Rasulullah, apa dosa itu?” Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, jika ada sesuatu yang menggoncangkan di hatimu, maka tinggalkan“. [5])
Sanad hadits tersebut baik
sesuai dengan syarat Muslim, karena ia juga meriwayatkan hadits Yahya
bin Abu Katsir dari Zaid bin Sallam. Imam Ahmad mengatakan bahwa Yahya bin
Abu Katsir mendengar hadits tersebut dari Zaid bin Sallam, namun hal tersebut ditentang Ibnu Muin.
Imam Ahmad [6])
meriwayatkan hadits dari riwayat Abdullah bin Al-Ala’ bin Zabr yang berkata, aku dengar Muslim bin Misykam berkata, aku dengar Abu
Tsa’labah Al-Khusyani berkata,
"Wahai Rasulullah,
jelaskan apa saja yang halal dan haram bagiku”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Kebaikan ialah apa saja yang jiwa tentram kepadanya dan hati damai kepadanya. Dan dosa
ialah apa saja yang jiwa tidak
tentram kepadanya dan hati tidak damai kepadanya kendati para pemberi fatwa berfatwa kepadamu”.
Sanad hadits tersebut
baik, karena Abdullah bin Al-Ala’ bin Zabr adalah perawi tepercaya
dan terkenal. Hadits tersebut juga diriwayatkan Al-Bukhari. [7])
Muslim bin Misykam juga merupakan perawi
tepercaya lagi masyhur (terkenal).
Ath-Thabrani dan lain-lain
meriwayatkan hadits dengan sanad dhaif dari Watsilah bin Al-Asqa’ yang berkata, aku
berkata kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,
“Berilah aku fatwa tentang
sesuatu yang tidak akan aku tanyakan kepada orang lain sepeninggalmu”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Mintalah fatwa kepada jiwamu”. Aku berkata, "Bagaimana aku
melakukannya?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
bersabda, "Engkau tinggalkan sesuatu yang meragukanmu menuju sesuatu yang tidak meragukanmu kendati para pemberi fatwa berfatwa kepadamu”. Aku berkata, “Bagaimana aku melakukannya?" Nabi Shallallahu Alaihi
wa Sallam bersabda, "Engkau letakkan tanganmu di hatimu, karena
hati tenang dengan sesuatu yang halal dan tidak tenang dengan sesuatu yang
haram”. [8])
Hadits semakna
diriwayatkan dari Abu Hurairah dengan sanad dhaif. Ibnu Luhaiah meriwayatkan dari Yazid bin Abu
Habib bahwa Suwaid bin Qais menjelaskan
kepadanya dari Abdurrahman bin Muawiyah bahwa seseorang bertanya kepada Nabi Shallallahu Alalhi wa Sallam,
"Wahai Rasulullah,
apa saja yang dihalalkan kepadaku dan apa saja yang diharamkan kepadaku?"
Orang tersebut mengulangi pertanyaannya hingga tiga kali sedang Nabi Shallallahu Alalhi wa Sallam
diam dalam setiap pertanyaannya
kemudian beliau bersabda, "Mana penanya?" Orang tersebut berkata, "Inilah aku, wahai Rasulullah”.
Kemudian Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam bersabda dengan memberi isyarat dengan jari-jari beliau, "Apa saja yang ditolak
hatimu, tinggalkanlah”. Hadits tersebut juga diriwayatkan Abu Al-Qasim
Al-Baghawi di Mu’jam-nya dan berkata, "Aku tidak tahu apakah
Abdurrahman bin Muawiyah mendengar dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam atau tidak dan aku tidak mengetahui haditsnya kecuali hadits ini”. Saya katakan, ia adalah Abdurrahman
bin Muawiyah bin Hadai yang nasabnya
disebutkan di Az-Zuhdu karangan Ibnu Al-Mubarak.
Abdurrahman adalah tabi’in terkenal, jadi, haditsnya tersebut adalah mursal.
Diriwayatkan dengan shahih
dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu yang berkata, "Dosa itu membekas di hati”.
Imam Ahmad berhujjah dengan perkataan Ibnu Mas’ud tersebut. Imam Ahmad
meriwayatkannya dari Jarir dari Manshur dari Muhammad bin Abdurrahman dari ayahnya
yang berkata, Abdullah bin Mas’ud berkata, "Tinggalkan oleh kalian
hal-hal yang membekas (hazzaz) di hati. Jika ada
sesuatu yang membekas di hatimu, maka tinggalkanlah”.
Abu Ad-Darda’ berkata,
"Kebaikan itu ada dalam ketentraman sedang dosa ada dalam keragu-raguan”.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dari jalur yang
terputus sanadnya bahwa ia pernah ditanya,
"Bagaimana menurut pendapatmu tentang sesuatu yang membekas di dada kami; kami tidak tahu apakah sesuatu
tersebut halal ataukah haram?" Ibnu Mas’ud menjawab, "Tinggalkan oleh kalian hal-hal yang membekas (hakkakaat),
karena itu semua dosa”. [9])
Arti hazzaz dan hakkakaat hampir sama, yaitu sesuatu yang
membekas di hati; baik itu kesempitan, kesulitan, dan kebencian.
Seluruh hadits di atas
mengandung penafsiran tentang kebaikan dan dosa. Sebagian hadits-hadits
tersebut memuat penafsiran tentang halal dan haram. Di hadits An-Nawwas bin Sam’an, Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam menafsirkan
kebaikan dengan akhlak yang baik. Di hadits
Wabishah dan lain-lain, beliau menafsirkan
kebaikan dengan sesuatu yang disenangi jiwa dan hati. Di hadits Abu Tsa’labah, beliau menafsirkan kebaikan dengan
halal. Perbedaan pendapat hanya terletak pada penafsiran beliau terhadap
kebaikan, karena kebaikan dikonotasikan kepada
dua pengertian;
Pertama: Mempergauli manusia dengan
berbuat baik kepada mereka. Bisa jadi, kebaikan diartikan khusus pada berbakti
kepada kedua orang tua. Jadi, kebaikan adalah berbakti kepada kedua orang tua. Namun,
kebaikan biasanya dikonotasikan kepada berbuat baik kepada manusia secara umum.
Ibnu Al-Mubarak menulis buku yang ia beri judul Kitabul Birri wash Shilah (Buku tentang kebaikan dan silaturahim). Di Shahih Al-Bukhari dan Jami At-Tirmidzi juga terdapat pembahasan
tentang Al-Birru wash
Shilah (kebaikan dan silaturahim).
Buku-buku tersebut membahas berbuat
baik kepada manusia secara umum dan berbakti kepada kedua orang tua didahulukan daripada orang-orang lain.
Disebutkan di hadits Bahz bin Hakim
dari ayahnya dari kakeknya yang berkata,
"Wahai Rasulullah,
kepada siapa aku berbakti?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Ibumu”. Kakek Bahz berkata,
"Kemudian siapa?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
“Ayahmu”. Kakek Bahz berkata, "Kemudian siapa?" Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Kemudian orang-orang terdekat lalu orang-orang terdekat”. [10])
Termasuk dalam katagori kebaikan ialah sabda
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Haji yang mabrur tidak mempunyai balasan kecuali surga". [11])
Di Al-Musnad [12]) disebutkan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam ditanya tentang kebaikan di saat haji kemudian beliau
bersabda, "Memberi makan dan
menyebarkan salam”.
Di riwayat lain
disebutkan, "Dan
berkata baik”. [13])
Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma berkata, "Kebaikan
adalah sesuatu yang sepele; wajah ceria dan perkataan yang
lembut”. [14])
Jika kata kebaikan (al-birru) digabung dengan kata takwa, seperti di firman Allah Ta’ala, "Dan
tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa”. (Al-Maidah: 2), maka terkadang makna kebaikan
tersebut ialah mempergauli manusia dengan baik dan yang dimaksud dengan kata
takwa di dalamnya ialah berinteraksi dengan
Allah dengan mengerjakan ketaatan-ketaatan dan menjauhi hal-hal yang Dia haramkan. Atau bisa jadi yang dimaksud dengan
kebaikan tersebut ialah mengerjakan
kewajiban-kewajiban dan yang dimaksud dengan takwa ialah menjauhi hal-hal yang diharamkan. Firman Allah Ta’ala, "Dan kalian jangan tolong-menolong
dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. (Al-Maidah: 2), bisa jadi yang dimaksud dengan kata dosa pada ayat tersebut ialah
kemaksiatan-kemaksiatan sedang yang
dimaksud dengan kata pelanggaran ialah mendzalimi manusia. Atau bisa jadi yang dimaksud dengan kata dosa pada ayat
tersebut ialah sesuatu yang diharamkan
seperti zina, pencurian, dan minum minuman keras dan yang dimaksud dengan kata pelanggaran ialah melebihi sesuatu yang
diizinkan kepada sesuatu yang
dilarang dikerjakan dari hal-hal yang jenisnya diizinkan, misalnya membunuh orang yang boleh dibunuh karena qishas dan
membunuh orang yang tidak boleh dibunuh,
mengambil zakat melebihi yang diwajibkan, mencambuk melebihi jumlah yang
diperintahkan, dan lain sebagainya.
Kedua. Makna kebaikan kedua ialah pengerjaan seluruh ketaatan yang terlihat dan yang tersembunyi, misalnya firman Allah Ta’ala,
"Bukanlah
menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaikan, tapi sesungguhnya kebaikan ialah beriman kepada Allah, Hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada
kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir dan
orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) budak, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan
orang-orang yang menepati janjinya
apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan peperangan; mereka itulah
orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”. (Al-Baqarah:
177).
Diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi
wa Sallam pernah ditanya tentang
iman kemudian beliau membaca ayat di atas. [15])
Karena kebaikan bermakna seperti itu, maka seluruh ketaatan yang tersembunyi
masuk ke dalamnya, seperti beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya,
Kitab-kitab-Nya, dan para Rasul-Nya. Begitu juga seluruh ketaatan yang
terlihat, seperti berinfak dengan harta yang dicintai Allah, mendirikan shalat,
membayar zakat, menepati
janji, sabar terhadap takdir seperti sakit
dan kemiskinan, dan sabar terhadap ketaatan-ketaatan seperti sabar
ketika bertemu musuh.
Bisa jadi, jawaban Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam di hadits An-Nawwas bin Sam’an itu mencakup
seluruh perbuatan tersebut, karena terkadang yang dimaksudkan dengan akhlak yang baik ialah berakhlak dengan akhlak
syariat dan beretika dengan etika-etika Allah
di mana Dia mendidik hamba-hamba-Nya dengannya di Al-Qur’an, seperti
difirmankan Allah untuk Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam, "Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi
pekerti yang agung”. (Al-Qalam: 4). Aisyah Radhiyallahu Anha berkata,
"Akhlak Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah Al-Qur’an”. [16])
Maksudnya, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam beretika dengan etikaetika
Al-Qur’an kemudian mengerjakan apa saja yang diperintahkan Al-Qur’an dan menjauhi apa saja yang
dilarangnya. Jadi, mengamalkan Al-Qur’an itu seperti akhlak layaknya watak yang tidak terpisahkan. Ini termasuk akhlak yang paling mulia dan paling indah.
Ada yang mengatakan
bahwa agama seluruhnya adalah akhlak. Di hadits Wabishah, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
"Kebaikan ialah apa saja yang hati tentram kepadanya dan jiwa damai kepadanya”. Di salah satu riwayat disebutkan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Kebaikan
ialah apa saja yang dada senang
kepadanya”. Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam juga menafsirkan halal dengan pengertian seperti itu di
hadits Abu Tsa’labah dan lain-lain.
Ini menunjukkan bahwa Allah Ta’ala
menciptakan hamba-hamba-Nya untuk
mengetahui kebenaran, senang
dengannya, dan menerimanya. Ini juga menunjukkan bahwa Allah Ta’ala membuat watak mereka mencintai kebenaran dan lari
dari kebalikannya.
Esensi ini masuk di firman Allah di hadits
qudsi di hadits Iyadh bin Himar,
"Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan
lurus dan Muslim kemudian syetan datang kepada mereka lalu mengalihkan mereka dari agama mereka, mengharamkan pada mereka apa saja yang Aku halalkan bagi mereka, dan menyuruh mereka
menyekutukan-Ku dengan sesuatu yang tidak Aku turunkan". [17])
Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda,
"Setiap bayi
dilahirkan dalam keadaan fitrah kemudian kedua orang tuanya yang meyahudikannya, mengkristenkannya, dan
memajusikannya. Seperti hewan yang dilahirkan
dari hewan sempurna; apakah kalian merasakan ada yang terpotong pada organ tubuhnya?" Abu Hurairah berkata, “jika kalian mau, silahkan baca, ‘Fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah; tidak
ada perubahan pada fitrah Allah". (Ar-Ruum: 30). [18]
Oleh karena itu, Allah
menamakan apa saja yang Dia perintahkan sebagai kebaikan dan apa saja yang Dia larang sebagai
kemungkaran. Allah Ta’ala berfirman,
"Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan”. (An-Nahl: 90).
Allah Ta’ala berfirman tentang sifat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,
"Dan dia menghalalkan
bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk". (Al-A’raaf: 157).
Allah Ta’ala juga menjelaskan bahwa hati kaum Mukminin tentram dengan dzikir kepada-Nya. Jadi, hati yang dimasuki cahaya
iman dan senang dengannya itu
tentram dengan kebenaran, damai dengannya, menerimanya, lari dari kebatilan, membencinya, dan tidak menerimanya.
Muadz bin Jabal Radhiyallahu Anhu berkata, "Aku minta kalian
mewaspadai penyimpangan
orang bijak, karena bisa jadi syetan mengatakan kalimat kesesatan melalui lisan orang bijak dan bisa jadi orang
munafik mengatakan kalimat kebenaran”.
Ditanyakan kepada Muadz bin Jabal, "Apa yang membuatku tahu bahwa terkadang orang bijak mengatakan kalimat
kesesatan dan terkadang orang munafik mengatakan kalimat
kebenaran?" Muadz bin Jabal menjawab, "Jauhilah perkataan terkenal orang bijak yang dikatakan, “Apa ini?”
dan itu jangan membuatmu menjauh darinya, karena bisa jadi ia
meluruskannya dan terimalah kebenaran jika engkau mendengarnya, karena di atas kebenaran terdapat sinar”. (Diriwayatkan Abu
Daud). [19]
Di riwayat lain disebutkan bahwa Muadz bin Jabal berkata, "Bahkan, apa saja
dari perkataan orang bijak yang tidak jelas bagimu hingga engkau berkata, “Apa yang ia inginkan dengan perkataan ini?”
Ini menunjukkan bahwa
kebenaran dan kebatilan tidak terlihat samar bagi orang Mukmin
yang tahu, namun ia mengetahui kebenaran dengan sinar yang ada padanya kemudian hatinya menerima kebenaran
tersebut dan lari dari kebatilan kemudian memungkirinya dan tidak mengenalnya.
Termasuk dalam tataran ini ialah sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam,
“Pada akhir zaman, akan
ada kaum yang berbicara kepada kalian dengan sesuatu yang tidak kalian dengar dan tidak pula pernah didengar nenek
moyang kalian. Maka hati-hatilah terhadap mereka”. [20])
Maksudnya, mereka membawa
sesuatu yang ditolak hati kaum Mukminin dan tidak dikenal jiwa mereka. Sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Dan tidak pula pernah didengar nenek moyang kalian", adalah isyarat bahwa sesuatu yang dikenal kuat kaum Mukminin kendati berganti
zaman adalah kebenaran dan apa saja
yang terjadi setelah itu di antara hal-hal yang ditolak hati itu tidak ada kebaikan di dalamnya.
Hadits Wabishah dan hadits-hadits semakna
menunjukkan keharusan kernbali kepada hati jika perkara-perkara samar terjadi.
Apa saja yang disenangi hati dan dada maka merupakan kebenaran dan halal,
sedang kebalikannya adalah dosa dan haram.
Sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Dosa ialah apa saja yang menggoncangkan jiwamu dan engkau tidak suka manusia melihatnya", adalah isyarat bahwa dosa ialah sesuatu yang meresap di dada;
berupa kesempitan, kekalutan, stres, dan dada tidak senang kepadanya. Kendati
demikian, dosa tersebut ditolak manusia dalam arti mereka menolaknya jika
mereka melihatnya. Ini tingkatan tertinggi pengetahuan terhadap dosa ketika
perkara-perkara samar terjadi. Jadi, dosa ialah sesuatu pada pelakunya atau
selain pelakunya yang ditolak manusia.
Termasuk dalam pengertian
ialah perkataan Ibnu Mas’ud, "Apa saja yang dilihat baik oleh kaum
Mukminin maka itu baik di sisi Allah dan apa saja yang dipandang buruk oleh kaum Mukminin maka itu buruk di sisi Allah". [21])
Sabda Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam, "Kendati para pemberi fatwa berfatwa kepadamu", maksudnya, apa saja yang menggoncangkan dada seseorang adalah dosa kendati orang lain berfatwa kepadanya
bahwa itu bukan dosa. Ini tingkatan
kedua, yaitu sesuatu ditolak oleh pelakunya dan bukan orang lain, serta
pelakunya menganggapnya sebagai dosa. Itu dengan syarat pelakunya termasuk
orang-orang yang terbuka dadanya kepada iman dan pemberi fatwa berfatwa kepadanya
hanya berdasarkan dugaan atau kecenderungan kepada hawa nafsu tanpa didukung dalil syar’i. Namun jika pemberi mufti
mempunyai dalil syar’i, maka peminta
fatwa wajib taat kepada pemberi fatwa kendati dadanya tidak senang kepadanya.
Contoh kasus dalam hal ini ialah keringanan-keringanan (rukhshah) syar’i seperti tidak berpuasa di perjalanan dan
sakit, mengqashar shalat di perjalanan, dan lain-lain di antara hal-hal yang dada orang-orang bodoh tidak suka
kepadanya. Ketidaksukaan mereka tidak ada artinya.
Buktinya, terkadang Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam menyuruh para sahabat mengerjakan
hal-hal yang tidak disukai hati mereka namun mereka menolak mengerjakannya, akibatnya beliau marah karena sikap mereka tersebut,
misalnya beliau
memerintahkan mereka merubah haji mereka menjadi umrah [22]) kemudian perintah beliau tersebut tidak disukai
beberapa orang dari mereka yang tidak menyukainya. Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam juga memerintahkan
mereka menyembelih hewan qurban mereka dan bertahallalul dari umrah
Al-Hudaibiyah, namun mereka tidak menyukai perintah beliau tersebut.
Mereka juga tidak menyukai perdamaian beliau
dengan orang-orang Quraisy dengan syarat
beliau pulang tanpa melakukan umrah
pada tahun Al-Hudaibiyah dan siapa saja dari orang-orang Quraisy yang datang kepada beliau maka beliau
harus memulangkannya. [23])
Kesimpulannya, apa saja
yang di dalamnya terdapat nash syar’i, maka tidak ada kata lain bagi orang
Mukmin kecuali taat kepada Allah dan Rasul-Nya, seperti difirmankan Allah Ta’ala,
"Dan tidaklah patut
bagi laki-laki yang Mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan Mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya
menetapkan ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka”. (Al-Ahzab: 36).
Orang Mukmin seyogyanya
menerima perintah syar’i dengan lapang dada dan ridha, karena apa saja
yang disyariatkan Allah dan Rasul-Nya wajib diimani, diridhai, dan diterima, seperti difirmankan Allah Ta’ala,
"Maka demi Tuhanmu,
mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang
kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. (An-Nisa’: 65).
Adapun sesuatu yang di
dalamnya tidak terdapat nash dari Allah, Rasul-Nya, dan dari orang-orang yang ucapannya
layak diikuti dari para sahabat dan generasi
salaf, maka jika di jiwa orang yang tentram, hatinya beriman, hatinya terbuka kepada cahaya ma”rifat dan keyakinan terdapat
sesuatu, goncang di dadanya karena adanya
syubhat, dan tidak mendapatkan orang yang memberi fatwa berupa keringanan di
dalamnya, namun yang ada adalah orang yang berfatwa berdasarkan akalnya, ilmu
dan agamanya tidak mumpuni, dan ia dikenal menuruti keinginan hawa
nafsu, maka orang Mukmin kembali kepada sesuatu yang menggoncangkan dadanya tersebut kendati orang-orang yang
terfitnah itu memberi fatwa.
Di syarah hadits An-Nu’man
bin Basyir, "Sesungguhnya halal itu jelas dan sesungguhnya haram juga jelas", syarah hadits Al-Hasan bin Ali, "Tinggalkan apa saja yang meragukanmu menuju apa saja yang
tidak meragukanmu", dan syarah hadits, “Jika engkau tidak malu, silahkan berbuat apa saja yang
engkau inginkan", telah disebutkan banyak hal terkait dengan penafsiran hadits-hadits
tersebut.
Sejumlah fuqaha’
sahabat-sahabat Imam Syafi’i dan sahabat-sahabat Abu Hanifah pemerhati ilmu ushul fiqh menyebutkan permasalahan tentang
ilham; apakah merupakan hujjah atau tidak? Mereka menyebutkan
perbedaan pendapat di dalamnya. Sejumlah orang dari sahabat-sahabat kami menyebutkan
bahwa kasyaf itu bukan jalan kepada hukum. Pendapat ini diambil
Abu Ya’la dari perkataan Imam Ahmad
di dalam mencela orang-orang yang membicarakan was-was dan lintasan jiwa. Hal tersebut ditentang beberapa orang
dari sahabat-sahabat kami. Sebelumnya telah saya sebutkan perkataan Imam
Ahmad tentang urgensi kembali kepada
hal-hal yang membekas di hati. Imam Ahmad dan lain-lain mencela orang-orang sufi yang membicarakan was-was dan lintasan jiwa
karena perkataan mereka tentang hal-hal tersebut tidak berpatokan kepada
dalil syar’i dan justru berpatokan kepada
akal saja dan perasaan, sebagaimana ia mengecam pembahasan halal haram hanya dengan mengandalkan pendapat akal tanpa dalil
syar’i.
Adapun mengembalikan
perkara-perkara syubhat kepada hal-hal yang membekas di
hati, maka itu ditunjukkan nash-nash nabawiyah dan fatwa-fatwa para sahabat,
oleh karena itu, bagaimana Imam Ahmad memungkirinya? Apalagi, ia secara tegas menyatakan pengembalian
perkara-perkara syubhat tersebut hal-hal yang membekas di hati sama seperti pendapat para sahabat. Sebelumnya
disebutkan hadits, “Kejujuran itu ketentraman dan dosa itu
keragu-raguan”. Jadi, kejujuran berbeda
dengan kedustaan, karena hati senang kepada kejujuran, mengenalnya, benci kebohongan, dan menolaknya, seperti
dikatakan Ar-Rabi’ Khatsim, "Sesungguhnya hadits mempunyai cahaya
seperti cahaya siang yang engkau kenal dan mempunyai
kegelapan seperti kegelapan malam yang engkau benci". [24])
Imam Ahmad meriwayatkan hadits Rabi’ah dari
Abdul Malik bin Sa’id bin Suwaid dari Abu
Hamid dan Abu Usaid bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
“Jika kalian dengar hadits
dariku yang dikenal hati kalian, rambut dan kulit kalian menjadi lembut karenanya, dan kalian melihat bahwa hadits
tersebut dekat dengan kalian, maka aku lebih berhak dengannya
daripada kalian. Jika kalian mendengar hadits dariku yang
ditolak hati kalian, rambut dan kulit kalian lari darinya, dan kalian melihat hadits tersebut jauh dari kalian, maka aku lebih layak jauh
darinya daripada kalian”.
Tentang sanad hadits
tersebut, ada yang mengatakan sesuai dengan syarat Muslim, karena Muslim meriwayatkan satu hadits dengan sanad yang sama [25]), namun hadits
tersebut (riwayat Ahmad) cacat, karena diriwayatkan Bukair bin Al-Asyaj dari Abdul Malik bin Sa’id dari Abbas bin Sahl
dari perkataan Ubai bin Ka’ab [26]).
Al-Bukhari berkata, "Itulah
yang paling benar”.
Yahya bin Adam meriwayatkan dari Ibnu Abu Dzi’b
dari Sa’id Al-Maqbari dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,
“Jika kalian diberi
hadits dariku kemudian kalian mengenalinya dan tidak menolaknya, maka
percayailah, karena aku mengatakan sesuatu yang dikenal dan tidak ditolak. Dan jika kalian diberi hadits dariku yang kalian
tolak dan tidak kalian kenal, maka kalian jangan mempercayainya,
karena aku tidak mengatakan sesuatu yang ditolak dan sesuatu
yang tidak dikenal”. [27])
Hadits tersebut juga
cacat. Ada perbedaan pendapat mengenai sanadnya kepada Ibnu Abu Dzi’b. Para
hafidz meriwayatkan hadits tersebut dari Ibnu Abu Dzi’b dari Sa’id secara mursal dan status hadits tersebut yang mursal lebih kuat menurut para imam hafidz hadits, di antaranya
Ibnu Mu’in, Al-Bukhari [28]),
Abu Hatim Ar-Razi [29]),
dan Ibnu Khuzaimah. Ibnu Khuzaimah berkata, "Aku tidak mengetahui seorang ulama hadits pun yang menyambungkan sanad hadits
tersebut”.
Hadits-hadits seperti di
atas jika diasumsikan shahih itu karena pengetahuan para imam hadits yang ahli terhadap sabda Nabi Shallallahu Alaihl wa Sallam, perkataan orang selain beliau, kondisi para
perawi, penukil hadits; mengetahui kejujuran, kebohongan, daya hapal, dan
kekuatan hapalan mereka. Para imam seperti itu mempunyai kritik khusus
terhadap hadits yang hanya mereka sendiri yang mengetahuinya, sebagaimana ahli uang yang ahli
mengetahui uang; baik tidaknya, dan murni
tidaknya. Atau seperti ahli permata yang ahli tentang permata. Para ahli hadits tersebut tidak mungkin menceritakan
sebab-sebab pengetahuan tentang hadits dan
menunjukkan bukti kepada orang lain. Buktinya, satu hadits dipaparkan kepada sejumlah
ulama hadits kemudian mereka sepakat memberi jawaban tentang hadits tersebut tanpa kesepakatan sebelumnya.
Hal ini pernah diujikan
pada zaman Abu Zur’ah dan Abu Hatim, ternyata jawaban keduanya adalah
sama. Penanya berkata, "Aku bersaksi bahwa ilmu seperti ini adalah ilham”. Al-A’masy berkata, "Ibrahim An-Nakhai adalah bak
peneliti uang dalam hadits. Aku pernah mendengar hadits dari beberapa ulama
kemudian aku laporkan apa yang aku dengar kepadanya”. [30])
Amr bin Qais berkata, "Pemilik hadits sepantasnya menjadi seperti ahli uang yang meneliti uang,
karena uang ada yang palsu dan ada yang
asli. Hadits juga seperti itu”.
Al-Auzai berkata,
"Setelah kami mendengar hadits, kami membawanya kepada sahabat-sahabat kami sebagaimana kami membawa uang palsu kepada
ahli uang. Jika hadits tersebut dikenal sahabat-sahabat kami
maka kami mengambilnya dan jika mereka menolaknya maka kami tidak
mengambilnya”. [31])
Dikatakan kepada
Abdurrahman bin Mahdi, "Engkau mengatakan tentang hadits bahwa hadits ini shahih dan hadits itu tidak shahih. Dari siapa
engkau berkata seperti itu?" Abdurrahman bin Mahdi berkata,
"Bagaimana pendapatmu, kalau engkau datang kepada ahli uang kemudian
engkau perlihatkan dirham-dirhammu kepadanya? Kemudian ahli uang tersebut berkata,
“Dirham ini baik dan dirham ini asli”. Apakah engkau bertanya kepadanya dari
siapa ia bisa seperti itu? Ataukah engkau menyerahkan segala sesuatunya
kepadanya?" Orang tersebut berkata, "Aku tidak bertanya seperti itu dan justru aku menyerahkan segala persoalan
tentang dirham-dirham
tersebut kepadanya”. Abdurrahman bin Mahdi berkata, "Ahli uang bisa seperti itu karena ia banyak duduk, berpikir,
dan pengalaman tentang dirham”.
Perkataan semakna juga
diriwayatkan dari imam Ahmad. Dikatakan kepada Imam Ahmad, "Wahai
Abu Abdullah, engkau mengatakan bahwa hadits ini munkar. Bagaimana
engkau tahu, padahal engkau tidak menulis seluruh hadits?" Imam Ahmad menjawab, "Perumpamaan kami adalah
seperti ahli uang di mana seluruh uang
tidak jatuh ke tangannya. Jika dinar jatuh ke tangannya, ia mengetahui bahwa dinar ini baik atau jelek”.
Ibnu Mahdi berkata,
"Mengetahui hadits adalah ilham”.
Ibnu Mahdi juga berkata, "Penolakan kami
terhadap hadits adalah perdukunan menurut
orang-orang bodoh”.
Abu Hatim Ar-Razi berkata,
"Perumpamaan mengetahui hadits ialah seperti batu mata cincin seharga seratus dinar dan batu mata cincin lainnya
seharga sepuluh dirham. Sebagaimana ahli uang tidak bisa menceritakan
sebab-sebab pengetahuannya terhadap dinar, maka kami yang diberi
ilmu juga tidak bisa menceritakan bagaimana kami mengetahui hadits ini dusta
dan hadits ini munkar kecuali dengan apa yang kami ketahui”.
Abu Hatim Ar-Razi berkata lebih lanjut,
"Kebaikan dinar bisa diketahui dengan
dianalogikan kepada dinar lainnya Jika salah satu dinar tidak terlalu merah dan jernih, maka dapat diketahui bahwa dinar
tersebut palsu. Jenis permata juga diketahui
dengan menganalogikannya dengan permata lainnya. Jika sebuah permata kurang mengkilap dan kurang kuat, maka
dapat diketahui bahwa permata tersebut
adalah kaca. Keshahihan hadits bisa diketahui dengan keadilan para penukilnya dan merupakan perkataan yang layak
merupakan sabda Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam. Ketidak-shahihan
hadits bisa diketahui dengan cara perawi yang tidak
adil meriwayatkannya sendirian, wallahu
a’lam”. [32])
Kesimpulannya bahwa para
ahli hadits dan para penelitinya sangat sedikit di antara ulama hadits yang
ada. Orang yang pertama kali berbicara tentang penelitian hadits adalah Ibnu
Sirin kemudian Ayyub As-Sakhtiyani. Syu’bah mengambil ilmu tersebut
dari Ayyub As-Sakhtiyani. Yahya Al-Qaththan dan Ibnu Mahdi mengambil
ilmu tersebut dari Syu’bah. Imam Ahmad, Ibnu Al-Madini, dan Ibnu Mu’in mengambil ilmu tersebut dari Yahya
Al-Qaththan dan Ibnu Mahdi. Kemudian ilmu tersebut diambil dari mereka oleh
sejumlah ulama, seperti Al-Bukhari,
Abu Daud, Abu Zur’ah, dan Abu Hatim.
Pada zamannya, Abu Zur’ah
berkata, "Sangat langka orang yang memahami ilmu ini dan betapa
sulitnya jika aku menolak ini dari satu atau dua orang. Sungguh sedikit engkau temukan orang yang menguasai hal ini”.
Ketika Abu Zur’ah meninggal
dunia, Abu Hatim berkata, "Orang yang menguasai hal ini maksudnya, Abu Zur’ah telah
pergi. Tidak ada seorang pun di Mesir dan Irak yang menguasai hal ini”.
Ditanyakan kepada Abu Hatim setelah wafatnya
Abu Zur’ah, "Tahukah engkau orang yang mengetahui ilmu ini pada zaman
sekarang?" Abu Hatim menjawab, "Tidak”.
Setelah meninggalnya
ulama-ulama di atas, tibalah giliran ulama-ulama, seperti An-Nasai, Al-Uqaili,
Ibnu Adi, dan Ad-Daruquthni. Sepeninggal mereka, sangat langka orang yang
mengetahui ilmu ini, hingga Abu Al-Faraj Ibnu Al-Jauzi berkata di halaman pertama bukunya, Al-Maudhu’aat, "Sangat
langka orang yang memahami ilmu ini, atau
bahkan tidak ada lagi”. Wallahu a’lam.
[1] Hadits nomer 2553. Hadits tersebut juga
diriwayatkan Imam Ahmad 4/182, At-Tirmidzi hadits nomer 2389, Ad-Darimi 2/322, dan Al-Bukhari di Al-Adab Al-Mufrad hadits nomer 295 dan 302. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 397.
[2] Diriwayatkan Imam Ahmad 4/228, Ad-Darimi 2/245246,
Abu Ya’la hadits nomer 1586, 1857, dan
Ath-Thabrani di Al-Kabir 22/403.
[3] Di Al-Musnad
4/227.
[4] Diriwayatkan Al-Bazzar hadits nomer 183 dan
Ath-Thabrani 22/402.
[5] Diriwayatkan Imam Ahmad 5/252, 253, 255 dan Ibnu
Al-Mubarak di Az-Zuhdu hadits
nomer 825. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu
Hibban hadits nomer 176.
[6] Di
Al-Musnad 4/194. Hadits
tersebut juga diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Kabir 22/585
dan Abu Nu’aim di Al-Hilyah 2/30.
[7] Maksudnya, Al-Bukhari meriwayatkan hadits Abdullah
bin Al-Ala’ bin Zabr di Shahih-nya dan berhujjah dengannya.
[8] Diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Kabir 22/193
dan Abu Ya’la. Di sanadnya terdapat Ubaid bin Al-Qasim yang tidak bisa dijadikan sebagai hujjah dan Al-Ala’ bin Tsa’labah yang tidak dikenal identitasnya.
[9] Disebutkan Ibnu Al-Atsir di An-Nihayah dan Ibnu Al-Jauzi di Gharibul Hadits.
[10] Diriwayatkan Imam Ahmad 5/3, 5, Al-Bukhari di Al-Adab Al-Mufrad hadits nomer 3, Abu Daud hadits nomer 5139, At-Tirmidzi hadits nomer 1897, dan
Ath-Thabrani di Al-Kabir 19/957.
Hadits tersebut dishahihkan Al-Hakim 3/642 dan 4/150 dengan disetujui
Adz-Dzahabi.
[11] Dari Abu Hurairah, hadits tersebut diriwayatkan
Imam Malik 1/346, Imam Ahmad 2/ 462, Al-Bukhari hadits nomer 1773, Muslim
hadits nomer 1349, Tirmidzi hadits nomer 933, An-Nasai 5/115, dan Ibnu Majah hadits nomer 2888. Hadits
tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 3695 dan 3696.
[12] 3/325 dan 334 dari hadits Jabir. Di sanadnya
terdapat perawi Muhammad bin Tsabit yang
merupakan perawi dhaif.
[13] Dari Jabir, hadits tersebut diriwayatkan Al-Hakim
1/483 dan ia menshahihkannya dengan disetujui Adz-Dzahabi. Hadits
tersebut juga disebutkan Al-Haitsami di Majmauz
Zawaid 3/207. la berkata, "Hadits tersebut diriwayatkan
Ath-Thabrani di Al-Ausath dan sanadnya hasan”.
[14] Diriwayatkan Al-Kharaithi di Makarimul Akhlaqii hal. 23-24.
[15] Dari Abu Dzar, hadits tersebut diriwayatkan Ibnu
Abu Hatim seperti terlihat di Tafsir
Ibnu Katsir 1/213. Hadits tersebut juga disebutkan As-Suyuthi
di Ad-Durrul Mantsur 1/411 dan
menambahkan bahwa hadits tersebut juga
diriwayatkan Abdu bin Humaid, Ishaq bin Rahawih, dan Ibnu Mardawih.
[16] Dari Aisyah, hadits tersebut diriwayatkan Muslim
hadits nomer 746 dan Abu Daud hadits
nomer 1342. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 2551.
[17] Hadits tersebut ada di Shahih Muslim hadits nomer 2865.
[18] Dari Abu Hurairah, hadits tersebut diriwayatkan
Imam Ahmad 2/275, Al-Bukhari hadits
nomer 1358, Muslim hadits nomer 2685, dan Ibnu Hibban hadits nomer 130.
[19] Hadits nomer 4611. Hadits tersebut juga
diriwayatkan Abu Nu’aim di Al-Hilyah
1/232-233.
[20] Dari Abu Hurairah, hadits tersebut diriwayatkan
Muslim hadits nomer 6. Ibnu Hibban hadits
nomer 2766, dan Al-Hakim 1/103.
[21] Diriwayatkan Imam Ahmad 1/379, Ath-Thayalisi
hadits nomer 69. Al-Bazzar hadits nomer
130, Ath-Thabrani di Al-Kabir hadits nomer 8583, Al-Baghawi di Syarhus Sunnah hadits nomer 155, dan Abu Nu’aim di Al-Hilyah 1/377-378 dari
Ibnu Mas’ud yang berkata, "Sesungguhnya
Allah melihat hati manusia kemudian mendapati hati Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagai
hati manusia yang paling baik, karenanya, Dia memilih beliau untuk Diri-Nya dan
mengutus beliau dengan risalah-Nya.
Kemudian Allah melihat hati manusia setelah hati Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam kemudian mendapati hati para sahabat beliau
sebagai hati manusia yang paling baik,
karenanya, Dia menjadikan mereka sebagai pembantu-pembantu Nabi-Nya yang
berperang di atas agama beliau. Jadi, apa saja yang dilihat baik oleh kaum
Mukminin maka itu baik di sisi Allah
dan apa saja yang mereka pandang sebagai sesuatu yang jelek maka itu.jelek di
sisi Allah”. Sanad hadits tersebut hasan dan dishahihkan Al-Hakim 3/78-79
dengan disetujui Adz-Dzahabi. Hadits
tersebut juga disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 1/177-178. Ia berkata,
"Hadits tersebut diriwayatkan Imam
Ahmad, Al-Bazzar, dan Ath-Thabrani di Al-Kabir”.
[22] Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan perubahan haji menjadi umrah kepada empat belas sahabat; Aisyah,
Hafshah, Ali bin Abu Thalib, Fathimah binti Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam, Asma’ binti Abu
Bakar, Jabir bin Abdullah, Abu Sa’id Al-Khudri, Al-Barra’ bin Azib, Abdullah
bin Umar, Anas bin Malik, Abu Musa Al-Asy’ari, Abdullah bin Abbas, Sabrah bin Ma’bad Al-Juhani, dan Suraqah bin Malik
Al-Mudlaji. Hadits tersebut
diriwayatkan di Zaadul Ma’ad 2/178-186 yang kami tahqiq.
[23] Kisah tersebut secara lengkap, silahkan baca Shahih Al-Bukhari hadits nomer 2731 dan 2732.
[24] Baca Al-Maudhu’aat,
Ibnu Al-Jauzi 1/103.
[25] Hadits nomer 713.
[26] Di At-Tarikh Al-Kabir 5/415-416.
[27] Diriwayatkan dengan teks seperti itu oleh Al-Hakim
dan At-Tirmidzi seperti terlihat di
Al-Jami’ Al-Kabir, As-Suyuthi.
Hadits tersebut dengan sedikit perbedaan juga diriwayatkan Ibnu Adi di Al-Kamil 1/26.
[28] Diriwayatkan Al-Bukhari di At-Tarikh Al-Kabir 3/474 dari jalur Ibrahim bin Thuhman dari
Ibnu Abu Dzi’b dari Sa’id Al-Maqbari secara mursal.
[29] Diriwayatkan Ibnu Abu Hatim di Al-Ilal 2/310
dari jalur Syu’aib bin Ishaq dari Ibnu Abu Dzi’b dari Sa’id Al-Maqbari dari ayahnya dari
Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam. Ibnu Abu Hatim menukil ayahnya yang berkata,
"Hadits ini munkar dan para perawi terpercaya tidak mengenalnya”.
[30] Baca Ma’rifatu
Ulumil Hadits, Al-Hakim, hal. 16, Hilyatul Auliya’ 4/10 dan Tahdzibul Kamal 2/238.
[31] Disebutkan Abu Zur’ah di Tarikhu Dimasyqa, hal. 265.
[32] Baca Al-Jarhu
wat Ta’dil, Ibnu Abu Hatim
1/350-351.