Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin Al-‘Allamah Hujjatul Islam Abu Ja’far Al-Warraq Ath Thahawi -di Mesir- berkata : “Inilah penuturan keterangan tentang aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, menurut mahdzab para ahli fiqih Islam : Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit Al-Kufi, Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim Al-Anshari dan Abu Abdillah Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani Ridwanallahu ‘alaihim ajma’in, beserta pokok-pokok keagamaan yang mereka yakini dan mereka gunakan untuk beribadah kepada Allah Rabbil ‘alamin.”[1]
- Kami menyatakan tentang tauhid kepada Allah, berdasarkan keyakinan semata-mata berkat taufiq Allah : Sesungguhnya Allah itu Maha Tunggal, tiada sekutu bagi-Nya.
- Tiada sesuatupun yang menyamai-Nya.
- Tiada sesuatupun yang dapat melemahkannya.
- Tiada yang berhak untuk diibadahi selain diri-Nya.
- Yang maha terdahulu tanpa berawal, yang maha kekal tanpa pernah berakhir.
- Tak akan pernah punah ataupun binasa.
- Tak ada sesuatupun yang terjadi, melainkan dengan kehendak-Nya.
- Tak dapat digapai oleh pikiran, tak juga dapat dicapai oleh pemahaman.
- Tidak menyerupai makhluk-Nya.
- Yang maha hidup tak pernah mati, yang maha terjaga dan tak pernah tertidur.
- Mencipta tanpa merasa membutuhkan (kepada ciptaan Nya), membagi rezeki tanpa mengharapkan imbalan.
- Mematikan tanpa gentar dan membangkitkan (setelah mati) tanpa kesulitan.
- Dia telah memiliki sifat-sifat itu semenjak dahulu, sebelum mencipta. Dengan terciptanya para makhluk, tak bertambah sedikitpun sifat-sifat-Nya. Yang selalu tetap dengan sifat-sifat-Nya semenjak dahulu tanpa
- Nama-Nya Al-Khaliq sebagai Pencipta, tidaklah disandang-Nya baru setelah Dia mencipta makhluk makhluk-Nya. Dan namanya Al-Bari (Yang Menjadikan) tidaklah diambil baru seusai Dia menjadikan hamba hamba-Nya.
- Dia-lah pemilik sebutan Al-Rabb (Pemelihara), dan bukanlah Dia Marhub atau yang dipelihara. Dia juga pemilik sebutan Al-Khaliq dan bukanlah Dia sebagai makhluk.
- Sebagaimana Dia adalah Dzat yang menghidupkan segala yang mati (Al-Muhyi), Dia-pun berhak atas sebutan itu, dari sebelum menghidupkan mereka. Demikian juga Ia berhak menyandang sebutan Al-Khaliq sebelum menciptakan mereka.
- Untuk itulah, Dia-pun berkuasa atas segala sesuatu, sementara segala sesuatu itu berharap kepada-Nya. Segala urusan bagi-Nya mudah, dan Dia tidaklah membutuhkan sesuatu. Firman-Nya : “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura : 11).
- Dia menciptakan makhluk dengan ilmu-Nya.
- Dia menentukan takdir atas mereka.
- Dia menuliskan ajal kematian bagi mereka.
- Tiada sesuatupun yang tersembunyi bagi-Nya sebelum Dia menciptakan mereka. Bahkan Dia mengetahui apa yang akan mereka kerjakan, juga sebelum menciptakan mereka.
- Dia memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk ta’at dan melarang mereka melakukan maksiat.
- Segala sesuatu berjalan sesuai dengan takdir dan kehendak-Nya, sedangkan kehendak-Nya itu pasti terlaksana. Tidak ada kehendak bagi hamba-Nya melainkan memang apa yang dikehendakinya. Apa yang Dia kehendaki, pasti terjadi. Dan apa yang tidak Dia kehendaki tak akan terjadi.
- Dia memberi petunjuk siapa saja yang Dia kehendaki, memelihara dan memeliharanya karena keutamaan-Nya. Dia juga menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, menghinakan seseorang dan menghukumnya berdasarkan keadilan-Nya.
- Seluruh makhluk dibawah kendali kehendak Allah di antara kemurahan, keutamaan dan keadilan-Nya.
- Dia mengungguli musuh-musuh-Nya dan tak tertandingi oleh lawan-lawan-Nya.
- Tak seorang pun mampu menolak takdir-Nya, menolak ketetapan hukum-Nya, atau mengungguli urusan-Nya.
- Kita mengimani semua itu, dan kitapun menyakini bahwa segalanya datang daripada-Nya.
- Sesungguhnya Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam adalah hamba-Nya yang terpilih, Nabi-Nya yang terpandang dan Rasul-Nya yang diridlai.
- Sesungguhnya beliau adalah penutup para Nabi ‘Alaihimu As-Sallam.
- Dia pemimpin orang-orang bertaqwa.
- Dia penghulu para Rasul.
- Kekasih Rabb sekalian alam.
- Segala pengakuan sebagai Nabi[2] sesudah beliau adalah kesesatan dan hawa nafsu.
- Beliau diutus kepada golongan jin secara umum dan kepada segenap umat manusia, dengan membawa kebenaran, petunjuk dan cahaya yang terang.
- Sesungguhnya Al Qur’an adalah Kalamullah, berasal dari-Nya sebagai ucapan yang tak diketahui kaifiyah (bagaimana)nya, diturunkan kepada Rasul-Nya sebagai wahyu. Diimani oleh kaum mu’minin dengan sebenar benarnya. Mereka menyakininya sebagai kalam Illahi yang sesungguhnya. Bukanlah sebagai makhluk sebagaimana ucapan hamba-Nya. Barangsiapa yang mendengarnya dan itu sebagai ucapan makhluk, maka ia telah kafir. Allah sungguh telah mencelanya, menghinanya dan mengancamnya dengan Naar (Neraka) Saqar. Dimana Allah berfirman : “Aku akan memasukkan ke dalam (Naar) Saqar.” (Al-Muddatsir : 26). Allah mengancam mereka dengan Naar Saqar, tatkala mereka mengatakan : “Ini (Al Qur’an) tidak lain hanyalah perkataan manusia.” (Al-Muddatsir : 25). Dengan itu kitapun mengetahui bahwa Al Qur’an itu adalah kalam (ucapan) Pencipta manusia dan tidak menyerupai ucapan manusia.
- Barangsiapa yang mensifati Allah dengan kriteria kriteria manusia, maka dia sungguh telah kafir. Barangsiapa yang memahami hal ini niscaya dia dapat mengambil pelajaran. Akan dapat menghindari ucapan yang seperti perkataan orang-orang kafir, dan mengetahui bahwa Allah dengan sifat-sifat-Nya tidaklah seperti makhluk-Nya.
- Melihat Allah adalah hak pasti bagi Ahli Jannah (penduduk syurga) tanpa dapat dijangkau oleh ilmu manusia, dan tanpa manusia mengetahui bagaimana memahami hal itu sebagaimana dinyatakan Rabb kita dalam Al Qur’an : “Wajah-wajah (orang mu’min) pada waktu itu berseri-seri. Mereka betul-betul memandang kepada Rabb mereka.” (Al-Qiyanah : 22-23). Pengertian (sebenar)nya adalah sebagaimana yang dikehendaki dan diketahui oleh Allah. Setiap hadits shahih yang diriwayatkan dalam persoalan itu, pengertian sesungguhnya adalah sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah. Tidak ada tempatnya kita terlibat untuk mentakwilkannya dengan pendapat pendapat kita, atau menduga-duga saja dengan hawa nafsu kita.
- Sesungguhnya seseorang tidak akan selamat dalam agamanya sebelum ia berserah diri kepada Allah dan Rasul-Nya, dan menyerahkan ilmu yang belum jelas baginya kepada orang yang mengetahuinya.
- Sesungguhnya Islam hanyalah berpijak di atas pondasi penyerahan diri dan kepasrahan kepada Allah.
- Barangsiapa yang mencoba mempelajari ilmu yang terlarang; tidak puas pemahamannya untuk pasrah, maka ilmu yang dipelajarinya itu akan menutup jalan baginya untuk memurnikan tauhid, menjernihkan ilmu pengetahuan dan membetulkan keimanan.
- Maka menjadilah ia orang yang terombang-ambing, antara keimanan dan kekufuran, pembenaran dan pendustaan, pengikraran dan pengingkaran. Selalu kacau, bimbang, tak bisa dikatakan ia membenarkan dan beriman; tak juga dapat dikatakan kafir dan ingkar.
- Tidak sah keimanan seseorang yang mengimani bahwa penghuni jannah akan memandang Rabb mereka, yang semata-mata ditegakkan di atas prasangka (keragu raguan) menganggapnya sebagai ‘praduga’ atau takwil dengan pemikirannya. Karena penafsiran ‘penglihatan’ itu dan juga penafsiran yang disandarkan kepada Rabb, haruslah tanpa mentakwilkannya dan dengan kepasrahan diri. Itulah sandaran dien/keyakinan kaum muslimin.
- Barangsiapa yang tak menghindari penafian Asma’ dan shifat Allah atau menyerupakan-Nya dengan makhluk Nya, dia akan tergelincir dan tak akan dapat memelihara kesucian diri.
- Sesungguhnya Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Mulia, tersifati dengan sifat Wahdaniyah (Maha Tunggal), tersifati dengan sifat Fardaniyah (ke-Maha Esa-an). Tak seorangpun dari hamba-Nya yang menyamai sifat-sifat tersebut.
- Maha suci diri-Nya dari batas-batas dan dimensi makhluk atau bagian dari makhluk, anggota tubuh dan perangkat-Nya. Dia tidak terkungkungi oleh enam penjuru arah yang mengungkungi makhluk ciptaan-Nya.
- Mi’raj (naiknya Nabi ke Sidratul Muntaha) adalah benar adanya. Beliau telah diperjalankan dan dinaikan (ke langit) dengan tubuh kasarnya dalam keadaan sadar; dan juga ke tempat-tempat yang dikehendaki Allah di atas ketinggian. Allah-pun memuliakan beliau dan mewahyukan kepadanya apa yang hendak Dia wahyukan. “Tidaklah hatinya mendustakan apa yang dilihatnya.” (An-Najm : 11). Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam atas diri beliau di dunia dan di akhirat.[3]
- Haudh (telaga) Al Kautsar yang dijadikan Allah kemuliaan baginya -dan pertolongan bagi umatnya adalah benar adanya.
- Syafa’at yang diperuntukkan Allah bagi mereka adalah benar sebagaimana diriwayatkan dalam banyak hadits.
- Perjanjian yang diikatkan Allah atas diri Adam dan anak cucunya (sebelum mereka dilahirkan-pent.) adalah benar adanya.
- Semenjak zaman yang tak berawal, Allah telah mengetahui jumlah hamba-Nya yang akan masuk Jannah dan yang akan masuk Naar secara keseluruhan. Jumlah itu tak akan bertambah atau berkurang. Demikian juga halnya perbuatan-perbuatan mereka yang telah Allah ketahui apa yang akan mereka perbuat itu (juga tak akan berubah).
- Setiap pribadi akan dimudahkan menjalani apa yang sudah menjadi kodratnya, sedangkan amalan-amalan itu (dinilai) bagaimana akhirnya. Orang yang berbahagia adalah orang yang berbahagia dengan ketentuan kodratnya. Demikian juga orang yang binasa adalah yang celaka dengan ketentuan kodratnya.
- Asal dari takdir adalah rahasia Illahi yang tak diketahui hamba-hamba-Nya. Memberat-beratkan diri menyelidiki hal itu adalah sarana menuju kehinaan, tangga keharaman dan mempercepat penyelewengan. Waspadai dan waspadailah seluruh pendapat-pendapat, pemikiran pemikiran dan bisikan-bisikan tentang takdir tersebut. Sesungguhnya Allah menutupi ilmu tentang takdir-Nya agar tak diketahui makhluk-Nya dan melarang mereka untuk mencoba menggapainya. Sebagaimana yang difirmankan-Nya : “Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanya.” (Al-Anbiyaa’ : 23). Barangsiapa yang bertanya : “Kenapa Dia lakukan itu ?” Berarti ia menolak hukum Al-Qur’an. Barangsiapa menolak hukum Al-Qur’an, berarti ia termasuk orang orang kafir.
- Inilah sejumlah persoalan yang dibutuhkan oleh orang orang yang hatinya terang dari kalangan para wali Allah. Itulah derajat orang-orang yang mendalami ilmunya. Karena ilmu itu ada dua macam yaitu: ilmu yang dapat digapai makhluk (ilmu agama) dan ilmu yang terselubung baginya (ilmu ghaib). Mengingkari ilmu yang pertama berarti kekufuran. Dan mengaku-aku memiliki ilmu yang kedua juga kekufuran. Keimanan itu hanyalah terpatri dengan menerima ilmu yang harus digapai manusia, dan menghindarkan diri dari mencari ilmu yang terselubung.
- Kita juga mengimani adanya Al-Lauh Al-Mahfudz, Al Qalam dan segala yang tercatat di dalamnya.
- Seandainya seluruh makhluk bersepakat terhadap suatu urusan yang telah Allah tetapkan untuk terjadi, agar urusan itu batal, mereka takkan mampu untuk merubahnya. Sebaliknya seandainya mereka berkumpul menghadapi urusan yang telah Allah tetapkan untuk tidak terjadi, agar urusan itu terjadi, meekapun tidak akan mampu merubahnya. Qalam (catatan) Allah telah ditetapkan untuk segala sesuatu yang akan terjadi sampai datangnya Hari Kiamat.
- Sesuatu yang -ditakdirkan- tidak akan menimpa seorang hamba, maka tidak akan menimpanya. Dan yang akan mengenainya, maka tidak akan meleset.
- Hendaknya seorang hamba tahu bahwa ilmu Allah telah mendahului segala sesuatu yang akan terjadi pada makhluk-Nya. Dia telah menentukan takdir yang baku yang tak bisa berubah. Tak ada seorang amkhlukpun baik di langit maupun di bumi yang dapat membatalkan, meralatnya, menghilangkannya, merubahnya, menggantinya, mengurangi ataupun menambahnya.
- Itulah buhul ikatan keimanan dan dasar-dasar ma’rifat dan pengakuan terhadap ke-Esa-an dan ke-Rububiyyah an Allah ‘Azza wa Jalla. Sebagaimana yang difirmankan dalam Al-Qur’an : “Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi rapinya.” (Al-Furqan : 2). Dan firman-Nya : “Dan ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (Al-Ahzab : 38).
- Maka celakalah orang yang betul-betul menjadi musuh Allah dalam persoalan takdir-Nya. Dan mengikut sertakan hatinya yang sakit untuk membahasnya.[4]
- ‘Arsy dan Kursiy-Nya adalah benar adanya.
- Dia tidak membutuhkan ‘Arsy-Nya itu dan apa yang ada di bawahnya. Dia menguasai segala sesuatu dan apa apa yang ada di atasnya. Dan dia tidak memberi kemampuan kepada makhluk-Nya untuk menguasai segala sesuatu.
- Kita juga menyatakan dengan penuh keimanan dan penyerahan diri bahwa sesungguhnya Allah telah menjadikan Nabi Ibrahim sebagai kekasih-Nya dan mengajak Nabi Musa untuk berbicara dengan sebenar benarnya.
- Kita mengimani para Malaikat, para Nabi dan kitab-kitab yang diturunkan kepada para Rasul. Kita pun bersaksi, bahwa mereka berada di atas kebenaran yang nyata.
- Kita menyebut mereka yang (shalat) menghadap kiblat kita dengan (sebutan) kaum muslimin dan kaum mu’minin selama mereka mengakui apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan membenarkan segala apa yang beliau ucapkan dan beritakan.
- Kita tidak akan mempergunjingkan Allah dan tidak membantah (ajaran) dien Allah.
- Kita tidak menyanggah Al-Qur’an dan bersaksi bahwa ia adalah Kalam Rabbul ‘Alamin, diturunkan dengan perantaraan Ruhul Amin (Malaikat Jibril), lalu diajarkan kepada Penghulu para Nabi yaitu Muhammad shallallahu 'alaihi wa ‘ala alaihi ajma’in (salaaman tasliman katsiran). Ia adalah Kalam Illahi yaitu yang tak akan dapat diserupakan dengan ucapan makhluk-makhluk Nya. Kitapun tidak mengatakannya sebagai makhluk dan (dengan itu) tidak akan menyelisihi jama’ah kaum muslimin.
- Kita tidak mengkafirkan Ahli Kiblat (kaum muslimin) hanya karena suatu dosa, selama dia tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang dihalalkan. Namun kita juga tidak mengatakan bahwa dosa itu sama sekali tidak berbahaya bagi orang yang melakukannya selama ia masih beriman.
- Kita mengharapkan agar orang-orang yang berbuat fajir dari kalangan mu’minin dapat diampuni dosa-dosa mereka dan dimasukkan Jannah karena rahmat-Nya, namun kita tidak menganggap mereka aman dari siksa Nya.
- Merasa aman dari siksa, atau putus asa dari ampunan Allah, keduanya dapat mengeluarkan dari Islam. Jalan yang benar bagi orang Islam adalah antara keduanya
- Seorang hamba hanya akan keluar dari keimanannya kalau ia mengingkari apa yang telah ia imani.
- Iman adalah [pembenaran dalam hati] pengakuan dengan lidah dan pembuktian dengan (amalan) anggota badan.
- Seluruh yang diriwayatkan dengan shahih dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berupa ajaran syari’at adalah benar adanya.
- Iman itu adalah satu bentuk. Pemilik keimanan tersebut dilihat dari asal imannya [5] adalah sama. Keutamaan diantara mereka diukur dengan ketaqwaan, rasa takut kepada Allah , menghindari hawa nafsu dan melakukan sesuatu yang lebih utama.
- Kaum muslimin seluruhnya adalah wali-wali Ar-Rahman.
- Yang paling mulia diantara mereka adalah yang paling ta’at dan paling ittiba’ dengan ajaran Al-Qur’an.
- Pengertian Iman adalah: Beriman kepada Allah, para Malaikat, Kitab-Kitab-Nya, para Rasul-Nya, Hari Akhir dan Takdir baik maupun buruk, manis maupun pahit. Dan bahawa kesemuanya berasal dari Allah.
- Kita mengimani semua itu. Kita tidak membeda-bedakan seorang pun diantara para Rasul. Kita membenarkan mereka semua beserta apa yang mereka bawa.
- Para pelaku dosa besar di kalangan umat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam (bisa) masuk Naar, namun mereka tak akan kekal di dalamnya kalau mereka mati dalam keadaan bertauhid. Meskipun mereka belum bertaubat namun mereka menemui Allah (mati) dengan menyadari dosa mereka. Mereka diserahkan kepada kehendak dan keputusan Allah. Kalau Dia menghendaki, maka mereka dapat diampuni dan dimaafkan dosa-dosa mereka dengan keutamaan-Nya, sebagaimana yang difirmankan Allah ‘Azza wa Jalla “Dan Dia mengampuni dosa selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” (An-Nisa’ : 48, 116). Dan jikalau Dia menghendaki, mereka diadzab-Nya di Naar dengan keadilan-Nya. Kemudian Allah akan mengeluarkan mereka dari dalamnya dengan rahmat Nya dan syafa’at orang yang memberi syafa’at di kalangan hamba-Nya yang ta’at. Lalu mereka diangkat ke Jannah-Nya. Hal itu karena Allah adalah Wali bagi siapa yang berma’rifah kepada-Nya. Yaitu mereka yang luput, tak mendapatkan petunjuk-Nya dan tidak dapat memperoleh kewalian-Nya. Wahai Dzat yang menjadi Wali bagi Islam dan pemeluknya, teguhkanlah kami bersama Islam sehingga kami datang menghadap ke haribaan-Mu.
- Kami menganggap syah shalat (jama’ah) di belakang Imam, baik yang shalih maupun yang fasik dari kalangan Ahli Kiblat. Dan menshalatkan siapa saja yang meninggal di antara mereka.
- Kita tak dapat memastikan mereka, masuk Jannah atau Naar.
- Kita tak bisa bersaksi bahwa mereka itu kafir, musyrik maupun munafik, selama semua itu tidak tampak nyata dari diri mereka. Kita menyerahkan rahasia hati mereka kepada Allah Ta’ala.
- Kita tidak boleh mengangkat pedang (berperang/ menumpahkan darah) terhadap seorang pun dari ummat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, kecuali terhadap mereka yang wajib diperangi.
- Kita juga tidak boleh memberontak terhadap pemimpin pemimpin dan Ulul ‘Amri kita, meskipun mereka berbuat lalim. Kita tidak menyumpahi mereka dan tidak berlepas diri dengan tidak taat kepada mereka. Kita berkeyakinan bahwa menta’ati mereka sepanjang dalam keta’atan kepada Allah adalah wajib, selama mereka tidak menyuruh berbuat maksiat. Kita tetap mendo’akan kebaikan untuk mereka dan agar mereka dikaruniai kebaikan jasmani maupun rohani.
- Kita tetap mengikuti As-Sunnah dan Al-Jama’ah menghindari sesuatu yang aneh, perselisihan dan menghindari perpecahan.
- Kita amencintai orang yang adil dan menjaga amanah serta membenci orang yang zhalim dan khianat.
- Terhadap sesuatu yang masih samar ilmunya bagi kita, kita mengucapkan Allahu A’lam.
- Kita berpendapat disyari’atkannya mengusap khuff (sepatu) baik di waktu mukim maupun safar (bepergian). Sebagaimana dijelaskan dalam beberapa riwayat.
- Jihad dan ibadah haji dapat dilakukan bersama Ulul ‘Amri, baik yang shalih maupun yang fasik, hingga hari kiamat. Keduanya tak dapat dibatalkan dan dirusak oleh segala sesuatu.
- Kita mengimani para Malaikat yang Mulia, pencatat amal manusia. Sesungguhnya Allah telah menjadikan mereka sebagai pengawas bagi kita.
- Kita juga mengimani Malaikat Maut yang diberi tugas mencabut nyawa para makhluk hidup.
- Kitapun mengimani adanya adzab kubur bagi orang yang berhak mendapatkannya dan juga pertanyaan Malaikat Mungkar dan Nakir kepadanya di dalam kubur tentang Rabb dan agamanya berdasarkan riwayat riwayat dari Rsulullah shallallahu 'alaihi wa sallam serta para sahabat Ridwanullahu ‘alaihim ajama’in. Alam kubur adalah taman-taman Jannah atau kubangan kubangan Naar.
- Kita juga mengimani Hari Ba’ats, dan balasan amal perbuatan pada hari kiamat, kita juga mengimani pendedahan (penyingkapan) amal perbuatan, hisab, pembacaan catatan amal, ganjaran baik dan siksa, shirati dan al-mizan di Hari Kiamat.
- Jannah dan Naar adalah dua makhluk Allah yang kekal, tak akan punah dan binasa. Sesungguhnya Allah telah menciptakan keduanya sebelum penciptaan makhluk lain dan Allah-pun menciptakan penghuni bagi keduanya.
- Barangsiapa yang dikehendaki-Nya untuk masuk Jannah, maka itu adalah keutamaan dari-Nya. Dan barangsiapa yang dikehendaki-Nya untuk masuk Naar, maka itu keadilan dari-Nya. Masing-masing akan beraal sesuai dengan apa yang menjadi ketetapan dari-Nya dan akan kembali kepada apa yang menjadi kodratnya. Kebaikan dan keburukan seluruhnya telah ditetapkan atas hamba-hamba-Nya.
- Kemampuan, yang dengan wujudnya datang kewajiban amal adalah semacam taufik yang bukan merupakan kriteria mahkluk. Adapun kemmapuan dalam arti ksehatan tubuh, potensi, kekuatan dan selamatnya diri dari bermacam musibah, adalah persiapan sebelum melakukan amalan. Dengan itulah hukum tersebut digantungkan, sebagaimana yang difirmankan Allah : “Tidaklah Allah membebani seseorang melainkan sebatas kesanggupannya.“ (Al-Baqarah : 286).
- Amal perbuatan hamba adalah makhluk Allah, namun juga hasil usaha ahamba itu sendiri.
- Allah hanya membebani mereka sebatas yang mereka mampu. Dan mereka pun memmang tidak akan mampu melainkan sebatas apa yang dibebankan Allah atas mereka. Itulah pengertian kalimat Laa haula wa laa quwwata illa billah. Kita mengatakan tiada jalan bagi seorang hamba dan tidak pula ia memiliki kebebasan beraktivitas, dan beranjak meninggalkan maksiat melainkan dengan pertolongan Allah. Dan seorang pun tidak memiliki kekuatan dalam keta’atan kepada Allah, melainkan dengan taufik-Nya.
- Segala sesuatu berlaku menurut kehendak, ilmu, keputusan dan takdir-Nya. Dia berbuat sekehendak-Nya, namun tidaklah sekalipun Dia mendzhalimi hamba-Nya. “Tidaklah Dia ditanya tentang apa yang Dia perbuat, tetapi merekalah yang akan ditanya tentang (apa yang mereka perbuat).” (Al-Anbiyaa’ : 23).
- Do’a dan sedekah orang yang hidup dapat bermanfaat bagi mereka yang sudah mati.
- Allah Ta’ala mengabulkan segala do’a dan memenuhi segala kebutahan hamba-Nya
- Dia-lah yang memiliki segala sesuatu namun tidak dimiliki oleh sesuatu. Tidak sekejabpun (hamba-hamba Nya) lepas dari rasa butuh kepada-nya. Barangsiapa yang merasa tak butuh kepada Allah sekejabpun, dia telah kafir dan termasuk orang yang binasa.
- Allah Subahanahu wa Ta’ala juga Murka dan Ridhla, namun tan menyerupai satupun dari makhluk-Nya.
- Kita mencintai para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, namun tidak berlebihan mencintai slah seorang diantaranya. Tidak juga kita bersikap meremehkan terhadap seorang pun dari mereka. Kita membenci siapa yang mereka benci dan mereka sebutkan kejelekannya. Kita hanya menyebut mereka dengan kebaikan. Mencintai mereka adalah pengamalan ad-dien (agama), keimanan dan ihsan. Sementara membenci mereka adalah kekufuran, kemunafikan dan melampaui batas.
- Kita mengakui kekkhalifahan sepeninggal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Yang pertama adalah Abu Bakr As-Shiddiq radliyallahu 'anhu sebagai sikap mengutamakan dan mengunggulkan dirinya atas semua umat Islam.
- Kemudian ‘Umar bin Al-Khattab radliyallahu 'anhu.
- Setelah itu ‘Utsman bin ‘Affan radliyallahu 'anhu.
- Kemudian ‘Ali bin Abi Thalib radliyallahu 'anhu.
- Merekalah yang disebut dengan Al-Khulafa’ Ar Rasyidun dan para imam yang mendapat petunjuk.
- Sepuluh orang sahabat yang disebut-sebut Nabi dan diberi kabar gembira sebagai penghuni Jannah, kita akui sebagai penghuni Jannah berdasarkan persaksian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan perkataan beliau yang benar. Mereka adalah Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Thalhah [bin ‘Ubaidillah], Az-Zubeir [bin Al-Awwam], Sa’ad [bin Abi Waqqas], Sa’id [bin Zaid], Abdurrahman bin ‘Auf dan Abu ‘Ubaidah Al-Jarrah -orang tepercaya umat ini- radliyallahu 'anhum.
- Barangsiapa yang membaguskan ucapannya terhadap para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, istri-istri beliau yang bersih dari segala noda,serta anak cucu beliau yang suci dari segala najis, maka aorang itu telah selamat dari kemunafikan.
- Para ‘ulama As-Salaf terdahulu [para sahabat] dan yang sesudah mereka dari kalangan Tabi’in adalah pelaku kebaikan dan ahli hadits, ahli fiqih dan ahli ushul.Mereka semuanya harus disebutkan kebaikannya. Barangsiapa yang menjelek-jelekkan mereka, maka dia tidak berada di atas jalan mereka (para sahabat).
- Kita tidak mengutamakan salah seorangpun diantara para wali Allah di atas seorang Nabi ‘Alaihi As-Sallam. Bahkan kita mengatakan bahwa seorang saja dari para Nabi itu lebih utama dibanding seluruh wali.
- Kita mengimani adanya karamah-karamah mereka dan segala riwayat tentang mereka yang dinukil dari perawi yang terpercaya.
- Kita juga mengimani adanya tanda-tanda hari kiamat berupa keluarnya Ad-Dajjal dan turunnya Nabi ‘Isa ‘Alaihis Sallam dari langit. Kita juga mengimani terbitnya matahari dari barat dan keluarnya Al-Daabbah [binatang yang dapat berbicara seperti manusia] dari kediamannya.
- Kita tidak mempercayai (ucapan) dukun maupun peramal, demikian juga setiap orang yang mengakui sesuatu yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah serta ijma’ kaum muslimin.
- Kita menyakini bahwa Al-Jama’ah adalah haq dan kebenaran, sementara Al-Furqah adalah penyimpangan dan siksaan.
- Ad-Dien (agama) Allah di langit dan di bumi hanyalah satu, yaitu dienul Islam, Allah berfirman: “Sesungguhnya agama (yang diridhlai) di sisi Allah hanyalah Al-Islam.” (Ali ‘Imran: 19). Dia juga berfirman: “Dan telah Aku ridlai Islam sebagai agama bagimu.” (Al-Maidah: 3). Dan Islam itu berada diantara sikap berlebih-lebihan dengan sikap meremehkan, antara menyerupakan sifat sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk denga menafikan (meniadakan) sifat-sifat itu, antara Jabriyah (kaum yang bersandar terhadap takdir saja) dengan Al-Qadariyah (kaum yang menoalk takdir), antara merasa aman dari siksa Allah dengan yang putus asa dari rahmat Allah.
- Inilah agama dan keyakinan kami lahir maupun batin. Kami berlepas diri -dengan kembali kepada Allah dari setiap yang menyelisihi apa yang kami sebutkan dan kami jelaskan. Kita memohon kepada Allah untuk menetapkan diri kita di atas keimanan, mematikan kita dengan keyakinan itu, memelihara kita dari pengaruh hawa nafsu yang bermacam-macam dan dari pendapat pendapat yang beraneka ragam dan mahdzab-mahdzab yang jelek seperti : Mu’tazilah, Al-Jahmiyyah, Al Jabriyyah, Al-Qadariyyah serta lain-lain, dari kalangan mereka yang menyelisihi Al-Jama’ah dan bersanding dengan kesesatan. Kita berlepas diri dari mereka. Dan mereka menurut kami adalah orang-orang sesat dan jahat. Wa billahi Al-‘Ishmatu wa At-Taufiq.
[1] Mukaddimah ini dikutip dari
matan “Al-Aqidah Ath Thahawiyah” dengan syarah dan komentar Syaikh Al Albany.
[2] Pada teks aslinya ‘Dakwah
sebagai Nabi’ adapun yang dinukil disini adalah berasal dari Matan Ath
Thahawiyah dengan syarh dan komentar Syaikh Al-Albany.
[3] Tambahan ini berasal dari
Matan Al-Aqidah Ath-Thahawi dengan komentar Al-Albany
[4] [Ungkapan ini terdapat juga
dalam naskah aslinya sebagai berikut : “Celakalah orang yang sesat dalam
memahami takdir-Nya karena hatinya yang sakit.” Dalam naskah yang lain
“Celakalah orang yang hatinya sakit dalam memahami takdirnya.” Yang tertulis disini
berasal dari Al-Matan AL-Aqidah Ath-Thahawi dengan syarah Al-Albany.].
[5] [Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz
dalam komentarnya terhadap Matan Aqidah Ath-Thahahiwah menyatakan: ‘Ucapan
beliau ‘Pemilik keimanan itu dilihat dari asal al-imannya adalah sama’ perlu
diteliti lagi. Bahkan jelas kebatilannya. Justru mereka bertingkat-tingkat
dengan perbedaan yang mencolok. Iman para Rasul tidaklah dapat disamakan dengan
iman selain mereka. Demikian juga imannya para khulafa’ rasyidun dan para
sahabat lainnya, tidaklah sama dengan generasi belakangan. Iman orang yang
betul-betul beriman juga tak sama dengan iman orang fasik. Keterpautan itu,
didasari dengan perbedaan apa yang didalam hati, berupa pengenalan terhadap
Allah, Asma’ dan Shifat Nya dan apa-apa yang disyari’atkan bagi hamba-Nya.
Itulah pendapat Ahlussunnah wal Jama’ah. Berseberangan dengan pendapat
Al-Murji’ah dan yang sependapat dengan mereka, Wallahu Musta’an.