Thursday, August 8, 2024

Tafsir Surat Ash-Shaf

 Pengantar

Surat ini menargetkan dua sasaran dengan sangat jelas, di samping ada isyarat-isyarat dan sentuhan-sentuhan parsial yang dapat dirujukkan kepada dua perkara mendasar itu.

 Pertama, ia menargetkan agar menjadi stabil dan kokoh dalam nurani kaum muslimin bahwa agama-Nya adalah manhaj Ilahi untuk seluruh manusia dalam gambaran dan bentuknya yang paling akhir. Ia telah didahului oleh gambaran-gam­baran dan bentuk-bentuk manhaj masa lampau yang disesuaikan dengan periode-periode tertentu se­panjang sejarah manusia. Ia pun telah berlalu pula dalam percobaan-percobaan kehidupan para Rasul dan kehidupan masyarakat. Semua percobaan itu sebagai pengantar dari gambaran dan bentuk terakhir dari agama yang satu, yang diinginkan oleh Allah sebagai penutup risalah dan pasti dimenang­kannya atas seluruh agama di muka bumi ini. Oleh karena itu, redaksi nash menyebutkan ten­tang risalah Musa guna menetapkan bahwa sesung­guhnya kaumnya di mana dia diutus kepada mereka, telah menyakitinya dan menyimpang dari risalah­nya sehingga mereka menjadi sesat. Maka, mereka pun tidak dipercaya lagi mengemban amanah risa­lah agama Allah di muka bumi ini.

“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, Hai kaumku, mengapa kamu menyakitiku, sedangkan kamu mengetahui bahwa sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu?'Maka, tatkala mereka ber­paling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka. Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang fasik." (Ash Shaff: 5)

 Jadi berakhirlah kepemimpinan kaum Musa dalam mengemban amanah agama Allah. Pasalnya, mereka tidak lagi dapat dipercaya atas amanah itu, sejak mereka berpaling sehingga Allah pun mema­lingkan hati mereka, dan sejak mereka sesat se­hingga Allah menyesatkan mereka. Allah tidak mem­berikan hidayah kepada orang-orang yang fasik. Kemudian ia menyinggung tentang risalah Isa guna menetapkan bahwa risalah itu datang sebagai pengembang dan penyempurna dari risalah Musa; sebagai pembenar bagi kitab-kitab sebelumnya yaitu kitab Taurat; dan sebagai pembuka dan peng­antar bagi risalah terakhir dan pemberi kabar gem­bira tentang kedatangan Rasul yang membawa risa­lah terakhir itu guna sebagai perantara dan peng­hubung antara agama yang memiliki kitab yang per­tama (agama yang dibawa oleh Musa) dan agama yang memiliki kitab yang terakhir (agama yang di­bawa oleh Muhammad saw).

Dan (Ingatlah) ketika Isa ibnu Maryam berkata: "Hai Bani Israil, Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan Kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)." Maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: "Ini adalah sihir yang nyata." (Ash Shaf : 6)

 Jadi Isa datang untuk menyerahkan amanah agama Ilahi yang diembannya setelah Musa kepada Rasul yang diberitakan oleh dia sebagai kabar gem­bira. Telah ditentukan dalam ilmu Allah dan takdir­-Nya bahwa ketetapan tentang langkah-langkah risalah itu berakhir pada ketetapan yang tetap dan permanen. Dan, agama Allah di muka bumi menjadi kokoh dan stabil dalam bentuknya yang terakhir di bawah pengembanan Rasulullah sebagai Rasul pe­nutup,

"Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenang­kannya di atas segala agama-agama meskipun orang­ orang musyrik benci. " (Ash Shaff: 9)

 Itulah tujuan dan sasaran pertama yang dipapar­kan dengan jelas dalam surat ini. Kemudian tujuan dan sasaran yang kedua ter­bangun di atasnya. Sesungguhnya setiap kesadaran terhadap hakikat ini serta pengetahuannya tentang kisah aqidah dan jatahnya dalam mengemban amanah aqidah itu di atas bumi ini ... diikuti dengan kesadaran terhadap beban-beban amanah itu. Suatu kesadaran yang mendorongnya kepada kejujuran niat dalam berjihad untuk memenangkan agamanya atas seluruh agama lain di muka bumi ini, se­bagaimana yang dikehendaki oleh Allah. Juga agar dia tidak bingung dan ragu-ragu antara perkataan dan perbuatan.

 Sangat keji dan buruk bila seorang mukmin telah menyatakan kesungguhannya untuk berjihad ke­mudian dia mengundurkan diri darinya, sebagai­mana yang terjadi pada sebagian kelompok orang-orang Islam seperti disinggung oleh beberapa riwayat hadits. Oleh karena itu, dalam bagian pembukaan dari surat ini setelah permaklumatan tentang tasbih alam semesta dan seluruh isinya kepada Allah, kemudian muncullah ayat,

'Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu me­ngatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa­-apa yang tiada kamu kerjakan. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya da­lam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh."(Ash Shaff: 2-4)

 Kemudian di tengah-tengah surat, Allah menyeru mereka semua kepada perniagaan yang paling menguntungkan di dunia dan di akhirat,

"Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamat­kan kamu dari azab yang pedih? (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam surga Aden. Itulah ke­beruntungan yang besar. Dan (ada lagi) karunia yang lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya). Sampai­kanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman. " (Ash Shaff: 10-13)

 Kemudian surat ini ditutup dengan seruan akhir bagi orang-orang yang beriman. Yakni, seruan agar mereka menjadi penolong-penolong bagi Allah sebagaimana kaum Hawariyun, para sahabat Nabi Isa menjadi penolong-penolong bagi Allah, walau­pun bani Israel mendustakannya dan mereka me­musuhi Allah.

'Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu peno­long-penolong (agama) Allah, sebagaimana Isa putra Maryam telah berkata kepada pengikut pengikutnya yang setia, 'Siapakah yang akan menjadi penolong-pe­nolongku (untuk menegakkan agama) Allah?' Peng­ikut-pengikut yang setia itu berkata, 'Kamilah penolong­-penolong agama Allah.' Lalu, segolongan dari bani Israel beriman dan segolongan (yang lain) kafir. Maka, Kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang. "(Ash Shaff: 14)

 Dua langkah dan sikap ini dijelaskan dalam surat ini sejelas-jelasnya. Hampir seluruh nash­nash surat ini mencakup kedua hal itu dan bahasan tentang keduanya hampir menempati seluruh isi surat ini. Sehingga, yang tersisa hanyalah ancaman terhadap orang-orang yang mendustakan risalah yang terakhir, itulah kisahnya dan itulah akibatnya. Ancaman ini selalu berkaitan dengan dua langkah dan sikap yang mendasar di atas. Ancaman tersebut adalah firman Allah melalui Rasulullah setelah sebutan tentang kabar gembira yang dibawa oleh Isa as tentang pengutusan Rasul terakhir,

"...Maka, tatkala Rasul itu datang kepada mereka de­ngan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata, 'Ini adalah sihir yang nyata. 'Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah sedang dia diajak kepada agama Islam? Allah tiada memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. Mereka ingin hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meski­pun orang-orang kafir benci."(Ash Shaff: 6-8)

Di dalamnya menjadi jelaslah bagi nurani setiap mukmin bahwa agamanya adalah agama Allah dalam bentuknya yang paling akhir di muka bumi ini, dan bahwasanya amanah aqidah seluruhnya diwakilkan kepadanya. Seorang mukmin harus menyadari bahwa dia dibebani untuk berjihad di jalan Allah sebagaimana yang dicintai Allah bagi­nya. Jalannya menjadi terang sehingga tidak tersisa lagi dalam pandangannya kegelapan dan tidak ter­sisa lagi dalam kehidupannya ruang kebingungan dan keraguan dalam perkara jihad ini. Atau, tidak tersisa lagi sikap maju-mundur dan berpaling dari tujuan yang telah digariskan dan jatah amanah yang dibagikan kepadanya dalam ilmu Allah dan takdir­-Nya sejak dahulu kala.

 Di sela-sela pengarahan orang-orang yang ber­iman kepada sasaran yang terang ini, Allah juga mengarahkan mereka agar berperilaku dengan akhlaq seorang mukmin dan sesuai dengan tabiat nuraninya. Yaitu, hendaknya janganlah dia me­ngatakan sesuatu yang tidak dikerjakannya; dan jangan berbeda antara perkataan dengan perbuat­annya, tidak pula lahiriah dengan batiniahnya, dan tidak pula antara rahasia dan perkara yang terang darinya. Kemudian hendaklah dia dalam setiap kesempatan memurnikan dirinya untuk Allah, mengikhlaskan diri untuk dakwah ke jalan-Nya, berterus terang dalam perkataan dan perbuatan­nya, stabil dan kokoh dalam menempuh jalannya, saling mendukung dan menyokong bersama sau­dara-saudara seiman laksana bangunan yang saling mendukung.

 Wajib Pertahankan Agama dalam Barisan Teratur

'Bertasbih kepada Allah apa saja yang ada di langit dan apa saja yang ada di bumi. Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."(Ash Shaff: 1)

Tasbih ini berasal dari seluruh makhluk yang ada untuk Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. la disebutkan pada awal surat yang me­nyebutkan dan memaklumatkan bagi orang-orang yang beriman tentang kenyataan bahwa sesung­guhnya agama mereka adalah episode terakhir dari silsilah panjang risalah agamaAllah. Sesungguhnva mereka adalah orang-orang yang dipercaya atas agama ini yang mengesakan Allah, dan meng­ingkari atas orang-orang musyrik dan orang-orang kafir atas kemusyrikan dan kekafiran mereka. Mereka adalah orang-orang yang diserukan oleh Allah untuk berjihad menolong agama-Nya. Allah telah menentukan bahwa agama-Nya akan dime­nangkan atas seluruh agama lain meskipun orang-orang kafir enggan dan benci.

 Awal surat ini mengisyaratkan bahwa amanah yang dibebankan kepada orang-orang yang beriman itu adalah amanah segala makhluk yang ada. Juga mengisyaratkan bahwa aqidah yang meminta mereka untuk berjihad karenanya adalah aqidah setiap makhluk yang ada di langit dan di bumi. Ke­menangan agama Islam atas seluruh agama di dunia adalah fenomena alam semesta yang seiring de­ngan arah alam semesta, seluruhnya mengarah ke hadapan Allah Yang Maha Perkasa lagi Mah Bijaksana. Kemudian Allah menyalahkan orang-orang yang beriman dengan celaan yang keras atas kasus yang terjadi pada sebagian dari mereka. Suatu kasus yang dibenci oleh Allah sekeras-kerasnya dan me­laknatnya sebesar-besarnya. Kasus yang menjadi­kan orang-orang yang beriman merasa jijik ter­hadapnya secara khusus,

"Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu me­ngatakan apa yang tidak kamu perbuat?Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh." (Ash Shaff: 2-4)

 Ali bin Thalhah mengatakan bahwa Ibnu Abbas berkata, "Beberapa orang dari kaum mukminin sebelum diwajibkan jihad berkata, 'Kami senang bila Allah menunjukkan kepada kita amal yang paling dicintai-Nya, sehingga kita pun mengerja­kannya.' Maka, Allah pun memberitahukan kepada Rasul-Nya bahwa amal yang paling dicintai oleh Allah adalah beriman kepada-Nya yang tidak di­campuri dengan keraguan sedikit pun di dalamnya, dan berjihad melawan orang-orang yang bermak­siat kepada-Nya yang telah menentang dan menyimpang dari iman dan tidak mengikrarkannya. Setelah kewajiban jihad turun, sebagian orang-orang yang beriman enggan dan tidak senang. Mereka merasa sangat sulit melaksanakannya. Maka, Allah pun berfirman dalam surat Ash Shaff ayat 2-3, “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.”

 Pendapat ini disetujui dan dipilih oleh Ibnu Jarir ath-Thabari dalam tafsirnya. Ibnu Katsir berkata dalam kitab tafsirnya bahwa jumhur ulama memposisikan ayat ini, bahwa ia turun ketika orang-orang yang beriman banyak yang merindukan kewajiban jihad atas mereka, namun ketika kewajiban itu turun, ada sebagian yang berpaling, sebagaimana firman Allah,

'Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikata­kan kepada mereka, 'Tahanlah tanganmu (dari ber­perang), dirikanlah shalat, dan tunaikanlah zakat!' Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bah­kan lebih sangat daripada itu takutnya. Mereka berkata, 'Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami beberapa waktu lagi?' Katakanlah, "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa dan kamu tidak akan dianiaya se­dikitpun. Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada dalam benteng yang tinggi lagi kokoh...."(An Nisaa : 77-78)

 Qatadah dan Adh Dhahhak berkata, "Ayat ini turun untuk mencela kaum yang mengatakan, 'Kami telah berperang, membunuh, memukul, me­nombak, dan melakukan ini dan itu', padahal mereka tidak pernah melakukannya."

 Pendapat yang paling kuat dan cocok dengan arahan ayat-ayat di atas dan penyinggungan tentang perkara jihad adalah berkenaan dengan kewajiban seperti yang dipegang oleh Jumhur dan pendapat dari Ibnu Jarir. Namun, nash nash Al Qur'an selalu lingkup dan jangkauannya lebih jauh dari kasus­-kasus yang dihadapi ketika turunnya ayat pertama kali untuk mengatasinya. Nash-nash Al Qur’an itu lebih mencakup dan lebih mengandung kandungan yang lebih umum dan lebih banyak daripada kasus yang terjadi dan menjadi penyebab turunnya ayat itu. Oleh karena itu, kita akan meniti dan berjalan di atas makna-makna umum dari ayat ini dengan tetap berpegang kepada sebab nuzulnya ayat se­perti yang disebutkan oleh beberapa riwayat. Sesungguhnya ayat di atas diawali dengan celaan atas kasus atau kasus-kasus yang terjadi

"Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu me­ngatakan apa yang tidak kamu perbuat?" (Ash Shaff: 2)

 Setelah itu langsung diikuti dengan pengingkar­an terhadap perlakuan demikian dengan bentuk ungkapan yang menjelaskan tentang kerasnya dan besarnya pengingkaran itu,

“Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan." (Ash­ Shaff: 3)

 Kebencian yang besar  sisi Allah "adalah puncak dari kebencian dan pengingkaran yang paling keras. Hal itu merupakan puncak penghinaan dan celaan atas suatu urusan. Khususnya dalam nurani se­orang mukmin yang dipanggil dan diseru dengan kehormatan iman, dan yang diserukan langsung oleh Tuhannya yang dia beriman kepada-Nya.

 Ayat ketiga mengisyaratkan tentang tema yang langsung di mana sebagian orang-orang yang beriman mengatakan sesuatu yang tidak mereka kerja­kan, ...yaitu jihad. Ia telah ditetapkan sebagai amal yang dicintai oleh Allah dan diridhai-Nya,

"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang ber­perang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan­-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. " (Ash Shaff: 4)

Jadi, ia bukanlah sekadar perang dan jihad. Namun, ia adalah berperang dan berjihad di jalan Allah. Berperang harus bergabung dalam jamaah kaum muslimin dan berada dalam barisan. Ber­perang harus dalam posisi yang kokoh dan ber­tahan kuat dan teratur, ".. dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh."

Sesungguhnya Al Qur’an seperti yang telah kami katakan dalam beberapa kesempatan dalam juz ke-28 ini, sedang membangun suatu umat. Ia membangun suatu umat yang dapat mengemban amanah agamanya di muka bumi ini, manhaj-Nya dalam kehidupan ini, dan sistem-Nya dalam jiwa-­jiwa manusia. Dan, mau tidak mau ia harus mem­bangun jiwa-jiwa umat sebagai individu-individu sekaligus membangunnya sebagai jamaah juga dan membangunnya sehingga beramal secara nyata. Semua itu dalam satu langkah dan momen se­kaligus. Jadi, seorang muslim tidak mungkin membangun individu melainkan dia harus berada dalam koridor jamaah. Islam itu tidak mungkin berdiri melainkan dalam jaringan jamaah yang terorganisasi rapi dan terikat dengan kokoh, memiliki sistem dan me­miliki sasaran jamaah yang bergantung dalam waktu yang bersamaan kepada setiap individu di dalam­nya. Sasaran itu adalah mendirikan manhaj Ilahi dalam nurani dan dalam amal perbuatan bersama pendiriannya di dunia ini. Dan, manhaj Ilahi itu tidak mungkin tegak dan berdiri di dunia ini melainkan di tengah masyarakat yang hidup dan bergerak, beramal dan menghasilkan dalam batasan-batasan manhaj Ilahi itu.

 Agama Islam walaupun sangat memperhatikan nurani individu dan pembebanan secara individu, tetapi ia bukanlah agama yang individualis, kemu­dian setiap individu beribadah sendiri-sendiri di dalam kuilnya. Sesungguhnya bentuk beragama seperti ini tidak merealisasikan apa-apa dalam nurani individu dan otomatis tidak pula dapat me­realisasikannya dalam kehidupan pribadinya. Islam tidak datang untuk mengasingkan seseorang se­perti ini. Sesungguhnya Islam itu datang untuk mengua­sai kehidupan manusia dan mengaturnya. Juga mendominasi setiap aktivitas individu dan masya­rakat dalam setiap arah. Dan, manusia tidak mung­kin hidup sendirian, karena dengan tabiatnya dia hidup bermasyarakat dan berbangsa-bangsa. Islam datang untuk mengatur individu dan ma­syarakat sekaligus. Hal itu didasari oleh asas bahwa manusia hidup seperti itu. Oleh karena itu, adab-­adab Islam, kaidah-kaidahnya, dan sistemnya se­mua tercelup dengan asas ini. Dan, ketika Islam mengarahkan perhatiannya kepada nurani individu maka ia mencelupkan ke dalam nurani itu perkara­-perkara yang menyadarkannya bahwa individu itu hidup dalam komunitas jamaah. Individu dan jamaah yang ia hidup di tengah-tengah mereka sama-sama mengarah ke hadirat Allah dan membangun di dalamnya atas asas amanah agama-Nya di atas bumi ini, manhaj-Nya dalam kehidupan, dan sistem-Nya dalam jiwa-jiwa manusia.

 Sejak awal dakwah Islamiah dibangun dalam masyarakat Islam atau kaum muslimin, ia memiliki kepemimpinan yang ditaati dan disegani, yaitu ke­pemimpinan Rasulullah. Juga memiliki komitmen­-komitmen kemasyarakatan di antara individu-in­dividunya. Ia pun memiliki bentuk keberadaan ter­sendiri yang membedakannya dari, seluruh komu­nitas masyarakat lain yang ada di sekitarnya, me­miliki adab-adab yang berkaitan erat dengan nurani masing-masing individu, dan dalam waktu yang sama sekaligus menjaga kehidupan jamaah. Semua itu terjadi sebelum Daulah Islamiah berdiri di Madinah. Bahkan, pembentukan masyarakat Islam itu merupakan cikal bakal dari pendirian dan pe­negakan Daulah Islamiah.

 Bila kita perhatikan tiga ayat di atas, kita akan menyaksikan peleburan akhlaq individu dalam hajat hidup bermasyarakat. Semua ini di bawah naungan aqidah agama dan tabiatnya yang ditentu­kan realisasinya dalam kehidupan manusia dalam gambaran sistem yang dijaga dan dibelanya. Sesungguhnya dua ayat yang pertama mengan­dung hukuman dari Allah dan pengingkaran ter­hadap sikap sebagian orang-orang yang beriman ketika mengatakan sesuatu yang tidak dikerjakan­nya. Dengan ini, keduanya menggambarkan tentang aspek yang asli dari kepribadian muslim, yaitu jujur dan beristiqamah. Sehingga, mereka diperin­tah agar mencocokkan antara apa yang ada dalam batinnya dengan apa yang dia nyatakan. Juga agar dia mencocokkan perbuatannya dengan perkataan­nya secara mutlak dan dalam batasan-batasan yang lebih jauh jangkauannya daripada tema jihad dan perang saja yang timbul dalam ayat selanjutnya. Karakter pribadi muslim seperti ini sering di­tegur dan disentuh oleh Al Qur’an. Kemudian sun­nah Nabi saw pun sering mengulang-ulang untuk menambah kekuatan dan penekanannya. Allah berfirman untuk mengancam orang-orang Yahudi,

"Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri dari (kewajib­ar)mu sendiri, padahal kamu membaca Al kitab (Taurat)? Tidakkah kamu berpikir?" (Al Baqarah: 44)

Allah mengancam orang-orang munafik,

Dan mereka (orang-orang munafik) mengatakan: "(Kewajiban kami hanyalah) taat". tetapi apabila mereka telah pergi dari sisimu, sebahagian dari mereka mengatur siasat di malam hari (mengambil keputusan) lain dari yang telah mereka katakan tadi. Allah menulis siasat yang mereka atur di malam hari itu, Maka berpalinglah kamu dari mereka dan tawakallah kepada Allah, cukuplah Allah menjadi Pelindung. (An Nisa : 81)

 Allah juga berfirman kepada orang-orang mu­nafik dalam ayat lain,

“Di antara manusia ada orang ucapannya tentang ke­hidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Apabila ia ber­paling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk me­ngadakan kerusakan padanya dan merusak tanaman­-tanaman. Allah tidak menyukai kebinasaan." (Al Baqarah: 204-205)

Dalam hadits disebutkan bahwa Rasulullah ber­sabda,

"Tanda-tanda orang munafik ada tiga. Bila dia ber­bicara, maka dia berbohong. Bila dia berjanji, dia tidak menepatinya. Dan, bila dia diberi amanah, maka dia mengkhianatinya." (HR Bukhari dan Muslim)

 Hadits-hadits lain dalam tema ini dan yang se­makna dengan ini sangat banyak. Mudah-mudahan hadits yang kami sebutkan di sini termasuk di antara hadits yang paling detail dan paling terperinci tentang pengarahan Rasulullah yang mulia ber­kenaan dengan kecenderungan nifak ini.

 Imam Ahmad dan Abu Daud meriwayatkan dari Abdullah bin Amir bin Rabi'ah bahwa ia berkata, "Keluarga kami dijenguk oleh Rasulullah dan aku pada saat itu masih kecil. Maka, aku pun pergi keluar untuk bermain. Namun, ibuku memanggil­ku, Wahai Abdullah ke sini, ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu!' Lalu, Rasulullah bertanya kepada ibuku, 'Apa yang ingin kau berikan?' Ibuku menjawab, "Kurma.' Lalu Rasulullah bersabda, 'Bila kamu tidak melakukannya, maka pasti ditulis atasmu sebagai suatu dusta."

 Mungkin karena mengambil dari tuntunan Nabi saw yang mulia dan tinggi inilah Imam Ahmad menolak untuk mengajarkan hadits kepada seseorang yang harus menjalani perjalanan panjang dan sangat jauh dari tempat tinggalnya. Yakni, ketika dia me­lihat orang itu berpura-pura mendekap pangkuan­nya dan dia memanggil keledainya seolah-olah ada makanan dalam pelukan dan pangkuannya padahal tidak ada makanan. Imam Ahmad merasa keberat­an mengajarkan hadits untuk diriwayatkannya karena dia telah berdusta kepada keledainya.

 Inilah pembinaan akhlaq yang detail, terperinci, dan suci bagi nurani setiap mukmin dan kepribadiannya yang sangat cocok bagi orang-orang yang diberi amanah mengemban manhaj Allah di muka bumi ini. Itulah urusan yang ditetapkan da­lam surat ini, dan ini merupakan episode di antara episode tarbiah dalam masyarakat Islam yang diper­siapkan oleh Allah untuk mengemban amanah itu. Bila kita melihat secara langsung tema yang di­hadapi oleh ayat-ayat itu ketika turun kepada Rasulullah dan ia memberikan solusi kepadanya yaitu tema jihad, maka kita akan berhenti sejenak di hadapan tema-tema yang bermacam-macam untuk kita bahas, kita perhatikan, dan kita mengambil pelajaran darinya.

 Kita berhenti sejenak pertama kali di hadapan jiwa manusia yang biasa dijangkiti oleh kondisi­kondisi lemah. Sehingga, tidak ada yang dapat men­jaganya pada saat itu selain pertolongan Allah, serta selain peringatan yang terus-menerus, pengarahan yang terus-menerus, dan pendidikan yang terus­-menerus. Orang-orang yang menjadi sasaran ayat­-ayat di atas adalah sekelompok orang-orang yang beriman. Disebutkan oleh beberapa riwayat bahwa sesungguhnya mereka adalah dari kelompok Mu­hajirin yang merindukan agar Allah memberikan izin untuk berperang ketika mereka berada di Mekah karena terdorong oleh pengaruh semangat dan tekanan musuh. Mereka diperintahkan untuk mencegah tangan-tangan mereka, dan mereka di­perintahkan untuk mendirikan shalat, menunaikan zakat,

"...Setelah diwajibkan kepada mereka berperang.... "

Yaitu, di Madinah tempat yang cocok dan me­mungkinkan seperti yang telah ditentukan dalam takdir Allah,

"...Tiba-tiba sebagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat daripada itu takutnya. Mereka berkata, 'Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami beberapa waktu lagi?"'(An Nisaa': 77)

Atau mereka adalah sekelompok jamaah dari orang-orang Islam di Madinah. Mereka menanyakan tentang amal yang paling dicintai oleh Allah agar mereka melaksanakannya, namun ketika mereka diperintahkan untuk berjihad, mereka malah enggan melakukannya. Renungan ini cukup membuka mata kita tentang urgensi dan pentingnya jiwa manusia diingatkan secara terus-menerus dan berturut-turut dengan ketaqwaan, pengokohan diri, dan pengarahan. Karena jiwa-jiwa itu menghadapi beban-beban dakwah yang sangat berat dan sulit. Maka, pengingatan secara terus-menerus itu agar ia tetap kokoh dan istiqa­mah dalam jalannya, mampu mengalahkan kondisi­kondisinya yang lemah, dan selalu memberikannya semangat tentang pencapaian cita-citanya yang tinggi. Sebagaimana ia juga mengilhami kita agar bertawadhu dalam memohon beban-beban amal dan dalam merindukannya ketika kita berada dalam keadaan sehat wal afiat dan segar bugar. Karena bisa jadi kita tidak kuat atas beban yang kita usulkan kepada Allah, kemudian Dia membebankan kita untuk tugas itu. Mereka adalah komunitas orang-orang beriman yang pertama. Mereka juga mengalami masa-masa kritis dan lemah. Dan, mereka mengatakan sesuatu yang tidak mereka kerjakan. Sehingga, Allah men­cela mereka dengan celaan yang keras dan meng­ingkari mereka dengan pengingkaran yang me­ngerikan.

 Kemudian kita berhenti sejenak kedua kalinya di hadapan cinta Allah bagi orang-orang yang ber­perang di jalan-Nya dengan berbaris kokoh dan rapi seolah-olah mereka adalah bangunan yang ter­susun kokoh dan stabil. Kita berhenti sejenak di hadapan seruan yang menggiurkan itu, yang sangat kuat dan mendalam, agar kita ikut serta dalam berperang di jalan Allah.

 Perkara pertama yang dapat kita rekam di sini adalah bahwa sesungguhnya ia ditampakkan untuk menghalau dan menghadapi kondisi-kondisi dan sikap-sikap mundur, terlambat, dan benci terhadap peperangan di jalan Allah. Namun, sebab yang aneh pada kasus yang terbatas ini tidak menafikan bahwa seruan itu umum dan mencakup semua orang yang beriman. Sesungguhnya di belakangnya pasti ada hikmah yang terpendam dan selalu ada.

Sesungguhnya Islam sama sekali bukan agama yang gila perang dan ia tidak menginginkan dan menyukainya. Namun, Islam mewajibkan atas umat­-umatnya karena kondisi membutuhkan hal itu, dan sasaran yang terdapat di baliknya sangat besar. Jadi Islam mengarahkan manusia dengan manhaj Ilahi dalam bentuknya yang paling akhir. Dan, manhaj ini (walaupun menyeru fitrah yang lurus) sesungguh­nya ia membebankan jiwa-jiwa dengan usaha-usaha agar mencapai ketinggian derajatnya, dan agar stabil dan kokoh di atas derajatnya yang tinggi itu.

 Di bumi terdapat berbagai macam kekuatan yang tidak menginginkan manhaj itu menjadi stabil dan kokoh. Karena, sesungguhnya ia mencabut dari para thagut beberapa keistimewaannya yang bersandar kepada norma-norma yang batil dan palsu. Manhaj Ilahi itu memerangi norma-norma yang batil dan palsu tersebut, dan selalu me­musnahkannya bila manhaj itu kokoh dan stabil dalam kehidupan manusia. Kekuatan-kekuatan duniawi itu biasanya mengeksploitasi orang-orang yang lemah jiwanya serta mengganggunya agar tidak stabil dan kokoh mempertahankan tingkat imannya dan beban-bebannya. Sebagaimana ia juga mengambil keuntungan dari orang-orang yang lemah akal dan bodoh, orang-orang yang ber­pegang kepada status quo dan warisan-warisan nenek moyang agar mereka melawan manhaj Allah dan menghalangi jalannya.

Kejahatan itu sangat kejam, kebatilan merajalela, dan setan yang terhina dan terkutuk selalu menggoda. Oleh karena itu, menjadi keharusan dan ke­wajiban atas para pengemban iman dan penjaga manhaj ini agar mereka selalu kuat dan kokoh se­hingga dapat mengalahkan para budak kejahatan dan budak-budak setan yang menolongnya dalam kejahatan. Mereka harus kuat dalam akhlaqnya, dan harus kuat dalam melawan musuh-musuh mereka sekaligus. Juga menjadi kewajiban bagi mereka untuk mengalahkan dan berperang melawan musuh-musuh mereka ketika perang itu adalah sarana satu-satunya untuk menjamin kebebasan dakwah. Atau, untuk membangun manhaj yang baru dan ke­bebasan berkeyakinan dengannya serta kebebasan beramal sesuai dengan sistemnya yang tersusun dan digariskan. Mereka berperang di jalan Allah bukan di jalan pribadi mereka masing-masing dan bukan pula dalam membela fanatisme apa pun bentuknya se­perti jenis, warna kulit, asal daerah, keturunan, dan keluarga. Dalam hadits disebutkan bahwa Rasulullah bersabda,

'Barangsiapa yang berperang untuk meninggikan ka­limat Allah sehingga menjadi yang tertinggi, maka dia berperang di jalan Allah." (HR Abu Dawud dan Ibnu Maajah)

 Kalimat Allah adalah ungkapan tentang kehen­dak-Nya. Dan, kehendak Allah yang paling nyata bagi kita sebagai manusia adalah sesuatu yang cocok dan serasi dengan sistem alam semesta di mana di atasnya berjalan seluruh sistem alam se­mesta, yaitu alam semesta yang bertasbih kepada Tuhannya. Manhaj Allah yang terakhir yang dibawa oleh Islam adalah satu-satunya sistem yang serasi dan cocok dengan sistem alam semesta itu. Ia juga menjadikan seluruh alam semesta (termasuk di dalamnya manusia) menegakkan syariat Allah, bukan syariat yang dibuat oleh selain diri-Nya. Hal ini mau tidak mau dimusuhi oleh banyak individu dan dihadapi oleh berbagai strata sosial masyarakat, bahkan ditentang oleh banyak negara. Namun, mau tidak mau Islam pun tetap harus me­lawan dan menghadapi segala kekuatan itu. Dan, mau tidak mau Islam juga mewajibkan jihad atas orang-orang yang beriman untuk menolong manhaj ini dan merealisasikan kalimat Allah di dunia ini. Oleh karena itu, Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalannya dengan berbaris-­baris seolah-olah mereka adalah bangunan yang kokoh.

 Kemudian kita berhenti sejenak untuk ketiga kalinya di hadapan kondisi yang dicintai oleh Allah pada jiwa-jiwa para mujahidin agar mereka ber­perang dalam kondisi yang prima dan kokoh ter­sebut,

"Sesungguhnya  Allah menyukai orang-orang yang ber­perang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan­-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh." (Ash Shaff: 4)

 Sebetulnya itu adalah pembebanan yang bersifat individual, namun ia tanggung jawab individu di tengah-tengah jamaah, yaitu jamaah yang memiliki sistem dan aturan tersendiri. Karena orang-orang yang menentang Islam pun memiliki kelompok dan kekuatan masyarakat tersendiri. Mereka menggembar-gemborkan dan memobilisasi massa untuk tujuan itu. Oleh karena itu, menjadi kewajib­an bagi tentara-tentara Islam untuk menghadapi musuh-musuh mereka dengan barisan yang ter­susun rapi dan kokoh. Itulah tabiat agama Islam bahwa ketika me­megang kekuasaan, maka ia membentuk jamaah yang saling menopang dan memiliki jaringan yang kuat. Jadi, gambaran individu yang beribadah sen­dirian, berjuang sendirian, dan hidup sendirian me­rupakan gambaran yang sangat jauh dari tabiat agama ini dan dari tuntutan-tuntutannya dalam kon­disi jihad dan dalam keadaan menguasai segala aspek kehidupan.

 Inilah gambaran yang dicintai oleh Allah pada diri orang-orang beriman yang menggambarkan tentang tabiat agama mereka, dan menyingkap bagi tabiat saling mendukung yang kokoh dan kuat yang digambarkan oleh Al Qur’an yang indah dan mem­pesona, "...Seakan-akan mereka seperti suatu bangun­an yang tersusun kokoh." Suatu bangunan yang saling mendukung di antara bahan-bahan bangunannya. Setiap bahannya menjalankan perannya masing-masing dan menu­tup segala kelemahan dan kekurangannya. Karena suatu bangunan akan hancur bila salah satu bidang­nya terlepas dan kurang tepat, baik karena terlalu maju maupun terlalu mundur. Suatu bangunan pun akan hancur bila salah satu bidangnya tidak ber­fungsi semestinya dan tidak menunaikan peran yang diembannya, atau karena tidak saling men­dukung dengan yang di atasnya atau yang di sam­pingnya atau yang di bawahnya.

 Sesungguhnya gambaran itu melukiskan ten­tang suatu hakikat sekadar perumpamaan yang umum. Gambaran menggambarkan tentang tabiat jamaah dan tabiat ikatan-ikatan individu dalam jamaah. Yakni, ikatan perasaan dan ikatan pergerak­an di dalam sistem yang digariskan dan ditetapkan serta mengarah kepada sasaran yang digariskan dan ditentukan. Setelah itu, redaksi menyebutkan tentang kisah manhaj Ilahi dan periode-periodenya dalam per­jalanan risalah-risalah yang turun sebelum Islam.

 'Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, 'Hai kaumku, mengapa kamu menyakitiku, sedangkan kamu mengetahui bahwa sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu? 'Maka tatkala mereka ber­paling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka. Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik. Dan (ingatlah) ketika Isa putra Maryam berkata, 'Hai bani Israel, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku yaitu Taurat, dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muham­mad). 'Maka, tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka ber­kata, Ini adalah sihir yang nyata." (Ash Shaff: 5-6)

 Kejahatan bani Israel terhadap Nabi Musa (pada­hal ia adalah orang yang menyelamatkan mereka dari Fir'aun dan bala tentaranya; dan ia adalah Rasul mereka, pemimpin mereka, dan guru mereka) adalah kejahatan yang berliku-liku dan bermacam-­macam warnanya. Jihad Nabi Musa dalam me­luruskan penyimpangan-penyimpangan mereka merupakan jihad yang sulit dan besar. Al Qur’an menyebutkan tentang kisah-kisah bani Israel dalam berbagai gambaran tentang kejahatan itu dan tentang beban yang melelahkan yang diemban oleh Nabi Musa. Mereka memarahi Nabi Musa, padahal ia ingin menyelamatkan mereka dari kezaliman Fir'aun. Mereka harus menghadapi kekejaman dan kesom­bongan Fir'aun, sedang mereka merasa aman dalam kehinaan mereka. Mereka berkata kepada Musa dengan mencelanya dan menyalahkannya,

"Kaum Musa berkata, 'Kami telah ditindas (oleh Fir'aun) sebelum kamu datang kepada kami dan sesudah kamu datang." (Al A'raaf: 129)

 Seolah-olah mereka tidak melihat dalam risalah Musa kebaikan sedikitpun. Atau, seolah-olah mereka harus menanggung akibat dari perbuatan Musa se­hingga harus menghadapi penyiksaan terakhir itu.

Ketika Musa dapat menyelamatkan mereka dari kejahatan Fir'aun dengan nama Allah yang telah menyelamatkan mereka dari kezaliman Fir'aun dan Allah menenggelamkannya di hadapan pandangan mata mereka sendiri, setelah itu mereka langsung condong kepada peribadatan Fir'aun dan kaumnya,

"Kami seberangkan bani Israel ke seberang lautan itu. Maka, setelah mereka sampai ke suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka, bani Israel berkata, 'Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah Tuhan (berhala) se­bagaimana mereka mempunyai beberapa Tuhan (ber­hala)." (Al A'raaf: 138)

 Ketika Musa berangkat untuk bermunajat ke­pada Tuhannya dalam waktu yang telah ditentukan di atas gunung untuk menerima luh-luh (kepingan-­kepingan batu atau kayu bertuliskan isi Taurat), mereka pun sempat disesatkan oleh Samiri.

"Kemudian Samiri mengeluarkan untuk mereka (dari lobang itu) anak lembu yang bertubuh dan bersuara, maka mereka berkata, 'Inilah Tuhanmu dan Tuhan Musa, tetapi Musa telah lupa." (Thaahaa: 88)

 Kemudian mereka marah atas makanan mereka di padang pasir yaitu 'al-manna wa as-salwa'.1 Maka, mereka pun menghujat Musa;

"...Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. Sebab itu, mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi yaitu sayur-ma­yurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adas­nya, dan bawang merahnya.... "(Al Baqarah: 61)

 Dalam kasus sapi yang diperintahkan untuk di­sembelih, mereka masih saja mempermainkannya, serta mencari-cari cirinya dan tandanya. Mereka beradab sangat buruk kepada Nabi mereka dan Tuhan mereka. Mereka bertanya (Al Baqarah 68-71),

68.  Mereka menjawab: " mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar dia menerangkan kepada Kami; sapi betina apakah itu." Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu".

69.  Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar dia menerangkan kepada kami apa warnanya". Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya."

70.  Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu, karena sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu)."

71.  Musa berkata: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya." mereka berkata: "Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya". Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu[63].

 [63]  Karena sapi yang menurut syarat yang disebutkan itu sukar diperoleh, hampir mereka tidak dapat menemukannya.

 Kemudian mereka meminta hari libur yang di­sucikan. Namun, ketika hari Sabtu ditetapkan sebagai hari suci itu, mereka malah melanggarnya. Dan, di depan tanah suci yang diberitakan se­bagai kabar gembira bagi mereka dengan mema­sukinva, mereka malah berhenti di depannya de­ngan hina dan sekaligus pada waktu yang sama mereka memalingkan pipinya kepada Musa,

Mereka berkata, 'Hai Musa, sesungguhnya dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa. Kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka ke luar daripadanya. Jika mereka keluar daripadanya, pasti kami akan memasukinya. (Al Ma’idah: 22)

 Setelah mereka diperintahkan berulang-ulang dan diseru terus-menerus, dan mereka diberi semangat dan ruh berperang, mereka malah mem­bantah dan menjadi kufur,

Mereka berkata, 'Hai Musa, kami sekali-kali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya. Karena itu, pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguh­nya kami hanya duduk menanti di sini saja." (Al Ma’idah: 24)

 Di samping itu, mereka banyak menyulitkan Nabi Musa dengan pertanyaan-pertanyaan, usul­usul, pelanggaran, penyimpangan dan perlawanan, serta tuduhan keji dan batil seperti yang disebutkan dalam beberapa riwayat hadits. Ayat dalam surat ini di sini menyebutkan ten­tang perkataan Musa yang mencela mereka dengan sikap kasih,

'Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, 'Hai kaumku, mengapa kamu menyakitiku, sedangkan kamu mengetahui bahwa sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu...."

Mereka mengetahui hal itu dengan keyakinan. Ungkapan itu merupakan gaya bahasa yang mengandung peringatan sekaligus hardikan. Namun, sesungguhnya akhirnya mereka ber­paling, setelah Musa memberikan dan menunjuk­kan kepada mereka segala jalan istiqamah. Se­hingga, Allah pun menambah kesesatan dan keber­palingan mereka. Allah menyesatkan hati mereka sehingga tidak lagi bisa menerima hidayah. Dan, mereka pun sesat sehingga Allah menetapkan ke­sesatan atas mereka.

"...Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka. Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang fasik." (Ash Shaff: 5)

 Dengan penyimpangan dan kesesatan itu, ber­akhirlah kepemimpinan mereka dalam mengemban agama Allah karena mereka tidak pantas lagi mengemban amanah itu. Pasalnya, mereka telah berpaling dan sesat. Kemudian datanglah Nabi Isa bin Maryam untuk mengatakan kepada bani Israel,

'Dan (ingatlah) ketika Isa putra Maryam berkata, Hai Bani Israel, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu,.... "

Jadi, Isa sama sekali tidak pernah mengatakan bahwa dia adalah Allah, dan tidak pula mengatakan bahwa dia adalah anak Allah. Isa juga tidak me­ngatakan bahwa dia adalah salah satu oknum dari tiga unsur dalam ideologi Trinitas.

"... Membenarkan kitab (yang turun) sebelumku yaitu Taurat, dan memberi kabar gembira dengan (datang­nya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)...." (Ash Shaff: 6)

 Dengan gaya ungkapan bahasa yang demikian, ayat di atas menggambarkan tentang episode lingkaran risalah yang saling terkait satu sama lain. Yang lebih awal menyerahkan estafet risalah itu kepada yang datang kemudian. Seluruhnya saling terkait dalam hakikatnya. Semuanya memiliki satu sasaran yang diturunkan dari langit ke bumi ini. Ia merupakan episode demi episode dalam silsilah yang panjang dan saling berhubungan. Ia merupa­kan gambaran yang sesuai dengan kebijakan Allah dan manhaj-Nya. Jadi, manhaj itu adalah satu pada dasarnya, namun ia tergambar dalam berbagai bentuk sesuai dengan kesiapan manusia, kemampuannya, dan kebutuhannya. Juga sesuai dengan percobaan, pengalaman, dan bekal ilmu pengetahuan sampai kepada kematangan akal dan perasaan. Maka, tibalah saat datangnya risalah terakhir ke­tika akal, kesiapan, kemampuan, sumber daya, dan kebutuhan manusia telah sempurna dan lengkap weary total. Risalah terakhir (Islam) menyeru akal yang tercerahkan di bawah bimbingan pengalaman dan percobaan risalah-risalah terdahulu. Dan, ia membebaskan akal untuk berbuat dalam batasan­-batasannya di dalam wilayah manhaj yang telah digariskan bagi manusia untuk mengembannya, yang sesuai dengan kemampuan dan kesiapannya.

 Berita gembira yang disampaikan oleh Isa Al­masih tentang kedatangan Rasul Allah yang terakhir yang bernama Ahmad (Muhammad saw) adalah berita yang sah dan tidak bisa diragukan dengan dalil teks Al Qur’an ini, baik berita ini ter­cantum dalam kitab-kitab Injil yang tersebar luas saat ini maupun ia tidak tercantum di dalamnya. Karena, kitab-kitab Injil itu tidak dapat dijadikan sebagai pegangan dan rujukan. Al Qur’an telah dibacakan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani di Jazirah Arab dan di antaranya di dalamnya terdapat ayat,

"(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka...." (Al A'ra,af: 157)

 Sebagian orang-orang yang objektif dan ikhlas dari pendeta dan rahib yang kemudian masuk Islam seperti Abdullah bin Salam mengakui hakikat itu. Namun, mereka yang tidak objektif saling berwasiat di antara mereka agar menyembunyikan berita itu dan merahasiakannya. Sebagaimana juga telah ditetapkan kebenaran­nya dalam rekaman sejarah bahwa bangsa Yahudi menanti tibanya saat pengutusan Nabi terakhir yang dekat zamannya. Demikian pula kita dapat mene­mukan sikap objektif dari sebagian orang-orang yang beragama tauhid di Jazirah Arab yang me­ngucilkan diri dan mengasingkan diri dari beberapa pendeta Nasrani. Namun, orang-orang Yahudi me­nginginkan Nabi dan Rasul terakhir itu berasal dari bangsa mereka. Maka, ketika Allah berkehendak lain dan mengutusnya dari garis keturunan lain dari nasab Ibrahim yaitu dari klan Ismail, mereka pun membenci dan memeranginya. Namun apa pun adanya, nash Al Qur’an saja sudah cukup menjadi keputusan final dalam masa­lah-masalah seperti ini. Itulah keputusan yang tidak bisa diragukan.

 Tampaknya ayat-ayat yang selanjutnya dalam surat ini, muncul berkenaan dengan penyambutan bani Israel (Yahudi dan Nasrani) terhadap Nabi yang telah diberitakan oleh kitab-kitab mereka. Juga berkenaan dengan penyiaran tentang berita penyambutan itu, serta tipu daya dan makar mereka terhadap agama baru yang telah ditakdirkan oleh Allah bahwa ia pasti mengalahkan seluruh agama lain, dan ditetapkan sebagai agama yang terakhir

Dan (Ingatlah) ketika Isa ibnu Maryam berkata: "Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan Kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)." Maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: "Ini adalah sihir yang nyata."

Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah sedang dia diajak kepada Islam? dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim.

Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya". (Ash Shaff: 6-8)

 Bani Israel telah bersikap terhadap agama yang baru itu dengan sikap permusuhan, tipu daya, dan makar penyesatan. Mereka memeranginya dengan segala sarana dan cara dengan membabi buta dan belum padam hingga saat ini. Mereka memerangi­nya dengan tuduhan keji,

"...Maka, tatkala Rasul itu datang kepada mereka de­ngan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka ber­kata, 'Ini adalah sihir yang nyata. "' (Ash Shaff: 6)

 Pernyataan mereka ini persis seperti tuduhan orang-orang yang tidak mengetahui kitab-kitab dan tidak pernah mendengar adanya berita gembira tentang kedatangan Rasul dan Nabi terakhir itu. Mereka memeranginya dengan menyebarkan desas­-desus dan permusuhan dalam tubuh pasukan Islam untuk membenturkan antara orang-orang Muha­jirin dan Anshar di Madinah, serta antara Kaum Aus dan Khazraj dari kaum Anshar. Mereka juga me­meranginya dengan berkonspirasi bersama orang-orang munafik pada suatu kesempatan atau ber­sama orang-orang musyrik pada kesempatan lain. Mereka juga memeranginya dengan bersekutu ke dalam tentara-tentara yang memusuhi Islam dan menyerang Islam sebagaimana terjadi dalam Perang Ahzab. Bahkan, mereka juga memeranginya dengan memutarbalikkan isu-isu yang batil sebagaimana terjadi pada kasus hadits ifki 'berita bohong) di bawah koordinasi Abdullah bin Ubay bin Salul. Juga se­bagaimana yang terjadi pada kasus fitnah terhadap Utsman di bawah konspirasi Abdullah bin Saba'. Mereka pun memeranginya dengan menyebarkan berita-berita bohong dan berita-berita Israeliyat yang mereka masukkan ke dalam hadits dan sirah Nabi Muhammad saw dan ke dalam kitab-kitab tafsir ketika mereka tidak mampu menyusupkan berita-berita bohong ke dalam Al Qur’an yang mulia.

 Perang itu tidak pernah padam walaupun sesaat, hingga saat ini. Gerakan Zionisme Internasional dan Salibisme Internasional selalu melakukan kons­pirasi dan makar terhadap Islam dan terus-menerus menyerang tanpa kenal damai sedikitpun dari gene­rasi ke generasi. Mereka telah menyerang Islam dalam Perang Salib di bagian Timur dan meme­ranginya pula dalam Perang Salib di Spanyol dan di bagian Barat. Mereka menyerang jantung khalifah terakhir di Turki dengan membabi buta. Kemudian membagi-bagikan wilayahnya menjadi negara-negara kecil, dan Turki mereka sebut sebagai "orang sakit". Mereka melatih pasukan-pasukan palsu di atas tanah kaum muslimin sendiri yang bertugas untuk melaksanakan segala tujuan dan kebencian mereka terhadap Islam. Setelah mereka ingin menghancur­kan "khilafah" di Turki dan menghabiskan segala bekas dan syiar Islam, mereka menyebarkan opini bahwa Kemal Atartuk adalah "pahlawan" pemba­haruan. Kemudian tentara-tentara koalisi berpura-­pura dipukul mundur oleh "pahlawan" itu di daerah Estonia agar dia tampak sebagai pahlawan dalam pandangan rakyatnya. Pahlawan itu telah membatalkan sistem kekhalifahan, menghapus bahasa Arab, dan memisahkan Turki dari orang-orang Islam. Juga memaklumat­kan bahwa Turki adalah negara sekuler yang tidak ada sangkut pautnya dengan agama. Mereka terus-­menerus menciptakan "pahlawan-pahlawan" palsu seperti ini setiap mereka ingin memukul Islam dan gerakan-gerakan Islam di negara-negara Islam. Tujuannya agar mereka dapat membangun fana­tisme lain bukan fanatisme aqidah dan agama, dan panji lain yang bukan panji Islam.

Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci." (Ash Shaf: 8)

 Nash Al Qur’an ini mengungkapkan tentang suatu hakikat, dan sekaligus pada waktu yang sama menggambarkan tentang lukisan yang mengun­dang penghinaan dan pengolok-olokan. Pada haki­katnya mereka benar-benar telah menyatakan,

"...Ini adalah sihir yang nyata. " (Ash Shaff: 6)

Mereka menyebarkan desas-desus, berkonspi­rasi, dan membuat makar sekuat tenaga dan sebisa mungkin untuk memusnahkan agama yang baru, yaitu Islam. Gambaran itu menggambarkan tentang kegagalan mereka ketika berupaya memadamkan cahaya agama Allah dengan mulut mulut mereka, padahal mereka sangat lemah dan hina.

"...Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci." (Ash Sha.ff: 8)

Maha Benar janji Allah. Dia telah menyempurna­kan cahaya-Nya pada saat Rasulullah masih hidup, sehingga Rasulullah dapat membangun kaum mus­limin dalam bentuk gambaran yang hidup dan nyata dari manhaj Ilahi yang terpilih. Ia merupakan gam­baran yang memiliki tanda-tanda yang jelas dan batasan-batasan yang digariskan. Ia diterapkan oleh generasi-generasi muslimin dan bukan hanya teori yang terdapat dalam lembaran-lembaran buku, namun terwujud dalam alam nyata.

 Allah menyempurnakan cahaya-Nya, meleng­kapi agama kaum muslimin, dan menyempurnakan nikmat-Nya atas mereka Dia ridha Islam sebagai agama mereka. Mereka mencintai-Nya dan ber­juang di jalan-Nya. Dan, seseorang di antara orang-orang yang beriman itu lebih suka dilempar ke dalam api membara daripada harus kembali kepada kekafiran. Maka, hakikat agama pun tumbuh dalam hati dan di atas bumi ini sekaligus. Dan, hakikat ini semakin hari akan semakin tampak dan pasti mun­cul dan tegak di muka bumi, walaupun peperangan, tipu daya, penyerangan, pengusiran, dan penyiksa­an yang keras sering menimpa kaum muslimin dan Islam. Pasalnya, cahaya Allah tidak mungkin dapat di­padamkan oleh mulut apa pun dan tidak bisa dimus­nahkan dengan pembakaran dari api atau dengan kekuatan besi yang ada di tangan para hamba dan makhluk. Walaupun kadang-kadang para thagut yang diktator dan para "pahlawan" yang diciptakan oleh kaki tangan pasukan Salib dan Zionis menyangka dan dengan menepuk dada seolah-olah mereka telah mencapai tujuan dan target yang menjadi sasarannya, padahal hal itu masih jauh dari jang­kauan mereka. Takdir telah berlaku bahwa sesungguhnya Dia pasti memenangkan agama-Nya. Jadi, hal itu pasti terjadi.

"Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenang­kannya di atas segala agama-agama meskipun orang-orang musyrik benci." (Ash Shaff: 9)

 Kesaksian Allah bahwa sesungguhnya agama Islam merupakan "hidayah dan agama yang benar", itulah hakikat kesaksian. Itulah keputusan final yang tidak perlu ditambah dengan apa pun. Dan, kehendak Allah telah sempurna sehingga Dia me­menangkan agama ini atas seluruh agama yang lain. Ia tampak dan muncul secara dominan karena hakikat dirinya sendiri. Tidak ada satu pun agama lain yang stabil dalam hakikatnya dan tabiatnya. Sedangkan, agama-agama animisme tidak men­dapat tempat dalam hakikat ini. Sementara itu, di antara agama-agama samawi lainnya, agama Islam inilah yang menutupnya dan mengganti perannya. Agama Islam merupakan gam­baran akhir dari agama-agama samawi itu, dalam gambarannya yang paling lengkap dan paling mencakup secara total. Ia datang dalam gambarannya yang tinggi dan dapat diterapkan hingga akhir zaman.

 Agama-agama samawi lainnya telah dipalsukan, dikotori, dan dipecah-belah serta ditambah-tambah sesuatu yang bukan aslinya. Bahkan, dikurangi pula beberapa bagiannya. Lalu ia pun tidak layak lagi di­pegang sebagai pedoman hidup. Seandainya agama-agama itu tidak dipalsukan dan tidak dikotori, ia pun merupakan ideologi yang ketinggalan zaman yang tidak lagi dapat memenuhi segala tuntutan zaman yang selalu baru dan berkembang. Karena, ia telah ditakdirkan dalam ilmu Allah berlaku hanya dalam batasan waktu tertentu. Inilah bentuk realisasi janji dari sisi hakikat dan tabiat dari agama ini. Sedangkan, dari sisi kenyataan hidup, maka Maha Benar janji Allah sekali lagi, sehingga agama ini menjadi kekuatan, hakikat, dan sistem yang mengalahkan seluruh sistem agama lain. Saat ini ia telah dianut oleh sebagian besar dari penduduk dunia dalam jarak waktu yang singkat. Ia dapat berekspansi hingga ke dataran Asia dan Afrika. Sehingga, masuklah ke dalam agama Islam lebih daripada lima kali lipat jumlah kaum muslimin pada periode jihad. Dan, agama ini akan selalu me­miliki peran dalam sejarah manusia yang pasti di­tunaikannya.

 Kemenangan Hanya Diperoleh dengan Pengorbanan

Dalam nuansa kisah aqidah dan dalam menanti janji Allah untuk mengokohkan agama terakhir ini, Al Qur’an menyeru orang-orang yang beriman. Yaitu, orang-orang yang langsung mendengar se­ruan itu pada saat turunnya dan orang-orang yang datang setelah mereka hingga hari Kiamat. Mereka diseru dan diundang ikut serta dalam perniagaan yang paling menguntungkan di dunia dan di akhi­rat, yaitu perniagaan iman kepada Allah dan ber­jihad di jalan-Nya.

"Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam surga Aden. Itulah ke­beruntungan yang besar. Dan, (ada lagi) karunia yang lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya). Sampai­kanlah berita gembira kepada orang-orang yang ber­iman."(Ash Shaff: 10-13)

 Ayat-ayat itu terdiri dari kalimat perincian dan kalimat sambung, kalimat pertanyaan dan jawabannya mendahulukan letak kata yang semestinya di akhir, dan mengakhirkannya yang sebetulnya ber­ada di awal. Gaya ungkapan demikian merupakan ungkapan yang disengaja untuk menetapkan dan memantapkan seruan itu ke dalam hati dengan berbagai wasilah dan sarana ungkapan. Seruan itu diawali dengan sebutan tentang iman,

“Hai orang-orang yang beriman...."                                                                                                  

Kemudian langsung diikuti dengan ungkapan pertanyaan yang menyentuh, karena Allah yang bertanya kepada mereka dan mengundang mereka untuk menjawab,

"...Sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih?" (Ash Shaff: 10)

Siapa yang tidak tertarik dengan petunjuk Allah tentang perniagaan itu? Dua kalimat itu dipisah untuk menunggu jawaban yang dinantikan. Kemu­dian muncullah jawaban setelah itu, setelah ditunggu-tunggu oleh hati dan pendengaran,

"... (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul­-Nya.... “

 Ternyata mereka telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka, hati mereka pun menjadi cerah dan gembira mendengar salah satu bagian dari jawaban telah terealisasi dalam diri mereka.

"...Serta berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu...."

 Itulah tema pokok yang dibahas dalam surat ini. Ia muncul lagi dalam gaya bahasa ini dan berulang­ulang serta diarahkan dengan redaksi demikian. Allah telah mengetahui bahwa jiwa manusia mem­butuhkan sentuhan yang terus-menerus dan ber­ulang-ulang dengan berbagai macam gaya bahasa dan coraknya. Sentuhan-sentuhan itu hendak mem­bangkitkan jiwa untuk menunaikan taklif yang sulit dan urgen di mana ia tidak mungkin lari dari tugas menegakkan manhaj Ilahi dan menjaganya selalu eksis di muka bumi ini. Kemudian komentar atas tawaran perniagaan itu yang ditunjukkan bagi mereka dengan komentar yang menggambarkan keindahan dan hiasannya,

"...Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengeta­huinya." (Ash Shaff: 11)

 Ilmu hakikat menuntun orang yang mengetahui kepada kebaikan yang pasti itu. Kemudian Allah memperincikan tentang kebaikan itu dalam ayat selanjutnya yang berdiri sendiri. Karena perincian setelah bahasan global, menarik hati kepadanya dan memantapkannya dalam perasaan dengan kokoh,

"Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu.... "

 Kebaikan seperti ini saja sudah cukup. Siapa yang telah dijamin bahwa dosa-dosanya pasti diampuni, lalu ia masih menginginkan yang lain lagi? Atau, adakah orang yang masih bakhil untuk men­dapatkan ampunan itu? Sesungguhnya karunia Allah tidak terbatas.

"...Dan memasukkan kamu ke dalam surga yang me­ngalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam surga Aden.... "

Sesungguhnya hal itu merupakan keuntungan tiada taranya bila seorang mukmin berjihad dalam masa hidupnya yang pendek. Sehingga, ketika ia melepaskan kehidupan dunia itu, Allah langsung menggantikan baginya kehidupan surga dan tem­pat-tempat yang penuh dengan kenikmatan yang kekal. Sesungguhnya itu benar-benar adalah ke­beruntungan.

 "...Itulah keberuntungan yang besar." (Ash Shaff: 12)

Seolah-olah berakhirlah di sini perhitungan ten­tang perdagangan yang menguntungkan itu. Se­sungguhnya ia memang keberuntungan yang besar dan dahsyat ketika seorang mukmin menukarkan kehidupan dunianya dengan kehidupan akhirat. Orang yang berdagang senilai satu dirham kemu­dian mendapatkan keuntungan sepuluh dirham saja membuat iri orang seluruh pasar kepadanya. Lantas bagaimana dengan orang yang menukar kehidupannya yang hanya beberapa hari saja di atas dunia dan hanya menikmati kenikmatan yang ter­batas saja dalam kehidupan dunia ini, dengan ke­nikmatan yang kekal yang tidak diketahui masa akhirnya melainkan hanya oleh Allah semata-mata, dan di sana segala kenikmatan tidak akan terputus dan terhalang oleh apa pun? Telah sempurna baiat dan perniagaan antara Rasulullah dengan Abdullah bin Rawahah dalam komoditas itu, di malam Baiat Aqabah.

 Abdullah bin Rawahah berkata kepada Rasulullah, "Persyaratkanlah untuk Tuhanmu dan untuk dirimu apa yang Anda kehendaki!" Rasulullah ber­sabda, "Sesungguhnya aku mensyaratkan untuk Tuhan­ku satu syarat, yaitu kalian menyembah-Nya dan tidak boleh menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dan, aku mensyaratkan untuk diriku sendiri satu syarat, yaitu kalian melindungiku dari segala bahaya yang kalian lindungi diri kalian dan harta benda kalian darinya "

 Abdullah bin Rawahah bertanya, "Apa balasannya bagi kami?" Rasulullah bersabda, 'Bagi kalian adalah surga. "Mereka berkata, "Perdagang­an yang pasti menguntungkan, kami tidak akan pernah membatalkannya dan tidak pernah me­minta untuk dibatalkan."

 Sesungguhnya karunia Allah sangat agung. Dia mengetahui bahwa jiwa-jiwa manusia juga terikat dengan keinginan dan kesenangan kepada sesuatu yang ada di dunia ini dalam waktu singkat, yang sesuai dengan strukturnya sebagai manusia yang terbatas. Allah merespons hal itu, maka Diapun memberikan kabar gembira baginya tentang ke­bijakan-Nya yang tersimpan bahwa Dia pasti me­menangkan agama ini di atas bumi, Dia pasti me­realisasikan manhaj-Nya dan dominasinya atas se­luruh kehidupan pada generasi terbaik itu,

'Dan (ada lagi) karunia yang lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya). Sampaikanlah berita gembira ke­pada orang-orang yang beriman."(Ash Shaf: 13)

 Di sini barang dan komoditas dagangan itu telah mencapai puncak keuntungannya yang tidak diberikan oleh siapa pun melainkan hanya oleh Allah semata. Karena Allah tidak akan pernah habis perbendaharaan-Nya dan tidak ada seorang pun yang dapat menghalangi rahmat-Nya. Jadi, karunia­-karunia itu adalah ampunan, surga, tempat-tempat tinggal yang baik, dan kenikmatan yang kekal di akhirat. Dan, di samping perdagangan yang menguntungkan itu dan balasan sebagai ganti atas komoditas barang barter yang murah itu, terdapat pertolongan dan kemenangan dari Allah yang sangat dekat. Dan, siapa yang akan berpaling dari per­niagaan seperti ini atau membatalkannya setelah ditunjukkan oleh Allah kepadanya? Di sini terdapat lintasan yang menyentuh jiwa di hadapan seruan yang membangkitkan dan menye­nangkan ini. Sesungguhnya seorang mukmin yang mengetahui hakikat persepsi keimanan di alam semesta dan kehidupan ini, dia hidup dengan ke­sadaran hatinya dalam persepsi itu. Dia menyadari dan mengetahui seluk-beluk dan ruang-ruangnya. Kemudian dia melihat kehidupan ini tanpa iman dalam batasan-batasannya yang sempit dan hina, tingkatnya yang rendah, dan perhatiannya yang lemah. Maka, hati itu tidak dapat bertahan hidup tanpa iman tersebut, meskipun hanya sebentar.

 Setelah itu dia tidak akan ragu-ragu sedikitpun untuk berjihad guna merealisasikan persepsi yang agung, luas, dan tinggi dalam alam nyata. Dengan demikian, dia bisa hidup di dalamnya dengan te­nang dan melihat orang-orang yang lain pun hidup dengan tenang. Dan, bisa jadi dia tidak meminta balasan lainnya atas jihadnya itu yang berada di luar dirinya, karena ketenangan dan kedamaian dirinva sendiri sudah merupakan balasan yang tiada ter­kira. Balasan itu cukuplah jihad itu sendiri serta segala keridhaan dan ketenangan yang diletak­kannya dalam hati.

 Dengan demikian, dia tidak betah dan bertahan hidup dalam alam yang tanpa iman. Dan, dia tidak akan bisa bertahan dan berdiam diri begitu saja tanpa berjihad untuk mewujudkan alam yang dimuliakan oleh iman. Jadi, dia benar-benar ter­dorong untuk berjihad walau apa pun risiko yang akan dihadapinya. Tetapi, Allah Maha Mengetahui bahwa jiwa-jiwa manusia itu kadangkala melemah, dan semangat yang mendorongnya jatuh, serta usaha dan upaya pun mengalami kelelahan. Jadi, jiwa yang kokoh itu pun bisa jatuh terbawa perasaan-perasaan sehingga menuntunnya kepada keputusasaan dan rela dengan kenyataan yang ada. Oleh karena itu, Al Qur’an menyemangati kem­bali jiwa-jiwa itu dengan semangat jihad dan me­ngatasinya dengan terapi itu. Dia menyerukannya dengan sentuhan-sentuhan dan pengaruh-peng­aruh. Seruan itu datang berkali-kali dan bermacam­-macam dalam berbagai kesempatan. Ia tidak me­nyandarkannya hanya kepada iman, dan tidak pula kepada satu seruan dengan sebutan iman. Maka, Al Qur’an menutup surat ini dengan se­ruan baru lagi, membawa misi dan tabiat yang baru, rangsangan yang baru, dan sentuhan yang baru.

 Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong (agama) Allah sebagaimana Isa ibnu Maryam  telah berkata kepada pengikut-pengikutnya yang setia: "Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?" pengikut-pengikut yang setia itu berkata: "Kamilah penolong-penolong agama Allah", lalu segolongan dari Bani Israil beriman dan segolongan lain kafir; Maka kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang. (Ash Shaf: 14)

 Al hawariyun adalah murid-murid Isa Almasih as, ada yang bilang bahwa mereka berjumlah dua belas orang yang sama-sama berlindung dan ber­sernbunyi dengan Isa. Dan, mereka secara total belajar kepada Isa dengan cara talakki 'langsung'. Merekalah orang-orang yang menyebarkan ajaran data -wasiat Isa di muka bumi dan memeliharanya, setelah ia diangkat ke langit oleh Allah.

 Ayat ini di sini bertujuan untuk menggambarkan tentang suatu sikap, bukan menggambarkan tentang suatu kisah. Maka, mari kita menelusuri ayat ini dari maksudnya yang puncak dan pokok, dan kenapa ia diletakkan di surat ini.

"Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu peno­long-penolong (agama)Allah .... "

Dalam kedudukan yang mulia ini di mana Allah mengangkat kalian secara resmi ke atas kedudukan itu, lantas apakah ada kedudukan yang lebih tinggi daripada kedudukan seorang hamba yang berada di barisan penolong-penolong Allah? Sesungguh­nya kedudukan ini mengandung kemuliaan yang lebih besar daripada kemuliaan surga dan kenik­matannya.

"...Sebagaimana Isa putra Maryam telah berkata ke­pada pengikut pengikutnya yang setia, 'Siapakah yang akan .menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?' Pengikut pengikut yang setia itu ber­kata, 'Kamilah penolong-penolong agama Allah...."

 Maka, para pengikut Isa itu menyambut pang­gilan tersebut, sehingga mereka pun meraih kemuliaan. Isa datang dengan membawa berita tentang Nabi yang baru dan agama yang baru dan terakhir. Maka, seyogyanya pengikut-pengikut Nabi Muham­mad saw  lebih pantas untuk menyambut panggilan yang abadi itu, sebagaimana para hawariyun telah menyambut dan melaksanakannya pada waktunya yang telah ditentukan. Inilah sentuhan yang nyata dalam paparan dialog ini di dalam surat ini. Lantas apa akibatnya?

"...Lalu segolongan dari bani Israel beriman dan se­golongan (yang lain) kafir. Maka, Kami berikan ke­kuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang."(Ash Shaf: 14)

 Takwil nash ini dapat terarah kepada dua makna. Yaitu, bisa bermakna bahwa sesungguhnya orang-orang yang beriman kepada risalah Isa as  adalah orang Nasrani secara umum baik yang aqidahnya lurus maupun yang aqidahnya telah dicampuri dengan penyimpangan. Allah telah memenangkan mereka melawan orang-orang Yahudi padahal mereka tidak beriman kepada-Nya sama sekali, sebagaimana yang telah terjadi dalam sejarah.

 Atau, makna lainnya adalah bahwa sesungguh­nya orang-orang yang beriman dan mempertahankan tauhid mereka menghadapi orang-orang yang menganggap Isa sebagai Tuhan atau penganut Tri­nitas dan segala agama lain yang telah menyimpang dari tauhid. Dan, maknanya adalah mereka telah dimenangkan dengan alasan dan argumentasi serta bukti-bukti. Atau, maknanya bahwa tauhid yang mereka anut adalah tauhid yang dimenangkan oleh Allah dengan agama baru dan akhir ini yaitu Islam. Kemudian tugas membela tauhid itu diserahkan kepada Islam untuk menyebarkannya di muka bumi sebagaimana telah terjadi dalam sejarah. Makna yang terakhir ini adalah makna yang paling dekat dan paling kuat di dalam bagian redaksi surat ini.

 Pelajaran yang dapat diambil dari isyarat yang terdapat dalam seruan ini adalah pelajaran yang telah kami isyaratkan sebelumnya. Yaitu, mem­bangkitkan kembali semangat orang-orang yang beriman kepada pelaksanaan agama baru ini. Merekalah orang-orang yang dipercaya mengem­ban amanah manhaj Allah di muka ini, sebagai pe­waris aqidah dan risalah ilahiah. Merekalah orang-orang yang dipilih untuk mengemban peran dan fungsi yang besar ini. Ia membangkitkan semangat mereka untuk menolong Allah dan agama-Nya,

"...Sebagaimana Isa putra Maryam telah berkata ke­pada pengikut pengikutnya yang setia, 'Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?' Pengikut pengikut yang setia itu ber­kata, 'Kamilah penolong-penolong agama Allah...."'

Sesungguhnya pasti kemenangan pada akhirnya bersama para penolong Allah dan orang-orang yang beriman.

Tafsir Surat Ash-Shaf